Agus yuniar (Umpan Balik)
Agus Rahmat yuniar, S.Kom., M.Pd.
CGP A10 K193
Buatlah kesimpulan tentang apa yang dimaksud dengan ‘Pemimpin Pembelajaran dalam Pengelolaan Sumber Daya’ dan bagaimana Anda bisa mengimplementasikannya di dalam kelas, sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah.
Sekolah sebagai ekosistem pendidikan merupakan sebuah bentuk interaksi antara faktor biotik (unsur yang hidup) dan abiotic (unsur yang tidak hidup). Kedua unsur ini saling berinteraksi satu sama lain sehingga akan menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Dalam ekosiste sekolah faktor-faktor biotik ini akan saling mempengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Ibarat siklus dalam rantai makanan, ia akan saling mempengaruhi dan membutuhkan satu sama lainnya sehingga terciptalah keselarasan dan keharmonisan yang diharapkan. Faktor-faktor biotik yang ada dalam ekosistem sekolah diantaranya adalah: Murid, Kepala Sekolah, Guru, Staf/Tenaga Kependidikan, Pengawas Sekolah, orang tua dan masyarakat di sekitar sekolah.
Selain faktor-faktor biotik tersebut, faktor-faktor abiotik juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran yang di antaranya adalah: factor keuangan, Sarana dan prasarana. Maka dengan demikian keberhasilan sebuah proses pembelajaran sangat bergantung pada acara pandang sekolah pada dirinya dalam membangun dan merangsang kreativitas ekosistemnya untuk menunjang keberhasilan tujuan pendidikan yang ingin dicapai sebagaimana yang telah tertuang dalam visi dan misi sekolah tersebut.
Ada dua pendekatan yang dapat dilakukan dalam pengelolaan sumber daya yaitu Pendekatan Berbasis Kekurangan/Masalah (Deficit-Based Thinking) dan Pendekatan Berbasis Aset/Kekuatan (Asset-Based Thinking). Pendekatan berbasis aset (Asset-Based Thinking) adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Dr. Kathryn Cramer, bahwa pendekatan ini merupakan cara praktis menemukan dan mengenali hal-hal yang positif dalam kehidupan, dengan menggunakan kekuatan sebagai tumpuan berpikir, dimana kita diajak untuk memusatkan perhatian pada apa yang bekerja, yang menjadi inspirasi, dan yang menjadi kekuatan ataupun potensi yang positif yang dimiliki. Sedangkan Pendekatan Berbasis Kekurangan/Masalah (Deficit-Based Thinking) adalah sebuah konsep pendekatan yang fokus pada apa yang kurang, apa yang mengganggu dan apa yang tidak bekerja. Segala sesuatunya akan dilihat dengan cara pandang negatif yang semakin lama akan membuat kita lupa akan potensi kekuatan yang ada disekitar kita untuk dioptimalkan.
Dalam mengatasi tantangan kekurangan dalam kebutuhan pada komunitas, Kretzmann dan McKnight menunjukkan bahwa aset yang dimiliki oleh komunitas adalah kunci dari usaha perbaikan kehidupan pada komunitas perkotaan maupun pedesaan. Menurut Green dan Haines (2002) mengatakan bahwa dalam Asset building and community development, ada 7 aset utama atau di dalam buku ini disebut sebagai modal utama, yaitu:
Modal Manusia
Sumber daya manusia yang berkualitas, investasi pada sumber daya manusia menjadi sangat penting yang berhubungan dengan kesehatan, pendidikan, kesejahteraan, dan harga diri seseorang.
Pemetaan modal atau aset individu merupakan kegiatan menginventaris pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan yang dimiliki setiap warganya dalam sebuah komunitas, atau dengan kata lain, inventarisasi perorangan dapat dikelompokkan berdasarkan sesuatu yang berhubungan dengan hati, tangan, dan kepala.
Pendekatan lain mengelompokkan aset atau modal ini dengan melihat kecakapan seseorang yang berhubungan dengan kemasyarakatan, contohnya kecakapan memimpin sekelompok orang, dan kecakapan seseorang berkomunikasi dengan berbagai kelompok. Kecakapan yang berhubungan dengan kewirausahaan, contohnya kecakapan dalam mengelola usaha, pemasaran, yang negosiasi. Kecakapan yang berhubungan dengan seni dan budaya, contohnya kerajinan tangan, menari, bermain teater, dan bermain musik.
Modal Sosial
Norma dan aturan yang mengikat warga masyarakat yang ada di dalamnya dan mengatur pola perilaku warga, juga unsur kepercayaan (trust) dan jaringan (networking) antara unsur yang ada di dalam komunitas/masyarakat. Investasi yang berdampak pada bagaimana manusia, kelompok, dan organisasi dalam komunitas berdampingan, contohnya kepemimpinan, bekerjasama, saling percaya, dan punya rasa memiliki masa depan yang sama. Contoh-contoh yang termasuk dalam modal sosial antara lain adalah asosiasi. Asosiasi adalah suatu kelompok yang ada di dalam komunitas masyarakat yang terdiri atas dua orang atau lebih yang bekerja bersama dengan suatu tujuan yang sama dan saling berbagi untuk suatu tujuan yang sama. Asosiasi terdiri atas kegiatan yang bersifat formal maupun nonformal. Beberapa contoh tipe asosiasi adalah berdasarkan keyakinan, kesamaan profesi, kesamaan hobi, dan sebagainya. Terdapat beberapa macam bentuk modal sosial, yaitu fisik (lembaga), misalnya asosiasi dan institusi. Institusi adalah suatu lembaga yang mempunyai struktur organisasi yang jelas dan biasanya sebagai salah satu faktor utama dalam proses pengembangan komunitas masyarakat.
Modal Fisik
Modal Fisik Terdiri atas dua kelompok utama, yaitu: Bangunan yang bisa digunakan untuk kelas atau lokasi melakukan proses pembelajaran, laboratorium, pertemuan, ataupun pelatihan Infrastruktur atau sarana prasarana, mulai dari saluran pembuangan, sistem air, mesin, jalan, jalur komunikasi, sarana pendukung pembelajaran, alat transportasi, dan lain-lain.
Modal Lingkungan/alam
Bisa berupa potensi yang belum diolah dan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi dalam upaya pelestarian alam dan juga kenyamanan hidup. Modal lingkungan terdiri dari bumi, udara yang bersih, laut, taman, danau, sungai, tumbuhan, hewan, dan sebagainya.
Tanah untuk berkebun, danau atau empang untuk berternak, semua hasil dari pohon seperti kayu, buah, bambu, atau material bangunan yang bisa digunakan kembali untuk menenun, dan sebagainya.
Modal Finansial
Dukungan keuangan yang dimiliki oleh sebuah komunitas yang dapat digunakan untuk membiayai proses pembangunan dan kegiatan sebuah komunitas. Modal finansial termasuk tabungan, hutan, investasi, pengurangan dan pendapatan pajak, hibah, gaji, serta sumber pendapatan internal dan eksternal. Modal finansial juga termasuk pengetahuan tentang bagaimana menanam dan menjual sayur di pasar, bagaimana menghasilkan uang dan membuat produk-produk yang bisa dijual, bagaimana menjalankan usaha kecil, bagaimana memperbaiki cara penjualan menjadi lebih baik, dan juga bagaimana melakukan pembukuan.
Modal Politik
Modal politik adalah ukuran keterlibatan sosial. Semua lapisan atau kelompok memiliki peluang atau kesempatan yang sama dalam kepemimpinan, serta memiliki suara dalam masalah umum yang terjadi dalam komunitas. Lembaga pemerintah atau perwakilannya yang memiliki hubungan dengan komunitas, seperti komunitas sekolah, komite pelayan kesehatan, pelayanan listrik atau air.
Modal Agama dan budaya
Upaya pemberian bantuan empati dan perhatian, kasih sayang, dan unsur dari kebijakan praktis (dorongan utama pada kegiatan pelayanan). Termasuk juga kepercayaan, nilai, sejarah, makanan, warisan budaya, seni, dan lain-lain. Kebudayaan yang unik di setiap daerah masing-masing merupakan serangkaian ide, gagasan, norma, perlakuan, serta benda yang merupakan hasil karya manusia yang hidup berkembang dalam sebuah ruang geografis. Agama merupakan suatu sistem berperilaku yang mendasar, dan berfungsi untuk mengintegrasikan perilaku individu di dalam sebuah komunitas, baik perilaku lahiriah maupun simbolik.
Agama menuntut terbentuknya moral sosial yang bukan hanya kepercayaan, tetapi juga perilaku atau amalan. Identifikasi dan pemetaan modal budaya agama merupakan langkah yang sangat penting untuk melihat keberadaan kegiatan dan ritual kebudayaan dan keagamaan dalam suatu komunitas, termasuk kelembagaan dan tokohtokoh penting yang berperan langsung atau tidak langsung di dalamnya. - Sangat penting kita mengetahui sejauh mana keberadaan ritual keagamaan dan kebudayaan yang ada di masyarakat serta pola relasi yang tercipta di antaranya dan selanjutnya bisa dimanfaatkan sebagai peluang untuk menunjang pengembangan perencanaan dan kegiatan bersama.
Cara mengimplementasikan pengelolaan sumber daya dengan berbasis pada asset/ kekuatan:
Di Lingkungan Kelas
Murid dilibatkan dalam menciptakan lingkungan kelas yang nyaman sesuai impian murid.
Dengan memanfaatkan dan memaksimalkan keberfungsian sarana dan prasarana yang dimiliki, dan memfokuskan pada potensi/ kekuatan yang dimiliki murid dengan memperhatikan minat dan bakatnya untuk mengembangkan kreativitas murid.
Guru memfasilitasi murid dalam mewujudkan kelas yang di impikan dan mendukung daya kreativitas murid. Memanfaatkan sumber finansial untuk mendukung terlaksananya program pengelolaan sumber daya yang dimiliki dikelas.
Melakukan kolaborasi dengan guru lain untuk membantu pengelolaan sumber daya yang ada dikelas.
Di Lingkungan Sekolah
Berkomunikasi dengan kepala sekolah terkait adanya rencana penerapan pengelolaan sumberdaya berbasis asset untuk di kelas.
Melakukan sosialisasi kepada rekan sejawat/ guru lain mengenai pengelolaan sumber daya berbasis asset yang dimiliki disetiap kelas sesuai dengan karakter murid.
Berkolaborasi kepada seluruh warga sekolah dengan membentuk komunitas sekolah dalam membuat strategi pengelolaan sumber daya dengan berbasis asset.
Memanfaatkan sarana dan prasarana yang tersedia.
Memanfaatkan sumber finansial yang ada untuk mendukung program pengembangan.
Memanfaatkan kekuatan/ potensi yang dimiliki yang belum diolah agar dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Di Lingkungan Sekitar Sekolah
Menjalin hubungan baik dengan masyarakat sekitar sekolah.
Kerjasama dengan orangtua murid untuk membantu kegiatan sekolah
Kerjasama dengan berbagai pihak pemangku kepentingan (POLSEK, PUSKESMAS, SMP di daerah sekitar, Dinas Pendidikan, dll)
Kerjasama dengan home industry, kebudayaan di sekitar untuk turut mengenalkan kearifan local masyarakat sekitar pada murid.
Ikut mengembangakan kebudayaan masyarakat sekitar.
Jelaskan dan berikan contoh bagaimana hubungan pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid menjadi lebih berkualitas.
Hubungan antara pengelolaan sumber daya yang tepat akan membantu proses pembelajaran murid lebih berkualitas karena dengan mengelola kekuatan / asset yang dimiliki dan memaksimalkan kegunaannya dapat mendukung proses pembelajaran berjalan efektif dan efisien. Terlebih jika seluruh warga sekolah dilibatkan dalam pelaksanaannya, dan saling berkolaborasi tentunya dapat saling bersinergi dan menjadikan proses pembelajaran menjadi lebih berkualitas. 7 aset utama yang dimiliki sekolah untuk dapat mengembangkan sumber daya yang ada yaitu modal manusia (yang terdiri dari kepala sekolah, guru, murid, staff karyawan, dan seluruh warga sekolah), modal sosial (jaringan, relasi, kepercayaan dari berbagai pihak berwenang), modal lingkungan alam, modal finansial, modal politik, serta modal agama dan budaya. Inilah 7 modal yang hendaknya dikelola secara maksimal untuk mendukung keberlangsungan proses pembelajaran agar lebih berkualitas.
Contohnya:
Modal Manusia
Kepala Sekolah
Pendidikan S2, Berpengalaman (Bidang Literasi)
Pendidik/ Guru
S2 Linier 6 guru, S1 Linier 47 guru, Bersertifikasi 89%
Tenaga Kependidikan/ Pegawai
Pendidikan S1 sejumlah 3 orang, D2 berjumlah 1 orang, SMA berjumlah 2 orang,
Murid
Latar belakang sosial budaya, agama, dan ekonomi heterogen. Jumlah murid 1165. Termasuk salah satu sekolah besar di kabupaten Sidoarjo
Komite dan Orang tua/Wali Murid, masyarakat, alumni
Latar belakang sosial ekonomi. Budaya, agama, dan Pendidikan heterogen
Pengawas Pendidikan S2, Berpengalaman
Modal Sosial dukungan masyarakat dan komunitas
Modal fisik
Gedung Utama : Ruang Kepala Sekolah, Ruang Wakil Kepala Sekolah, Ruang guru, Ruang Tenaga Kependidikan, Ruang Bendahara, Ruang BK, 33 ruang kelas, 4 ruang laboratorium computer, laboratorium ipa, sanitasi guru, sanitasi siswa, ruang OSIS, UKS, ruang PRAMUKA, perpustakaan.
Ruang pertemuan, Gedung serba guna, masjid, lapangan bola, lapangan basket, lapangan tenis, taman bunga, kolam ikan, ruang karawitan, ruang satpam, rumah penjaga malam, dan ruang Seni.
Modal lingkungan
Lokasi di pedesaan dikelilingi persawahan, akses mudah, internet lancar, dekat dengan sentra industri Roti janoko, krupuk, tas kulit dll
Modal Finansial
Anggaran dana BOS
Modal politik
Beberapa alumni yang sukses di bidang politik dan menjadi pejabat pemerintah seperti sekretaris desa, kepala desa (perangkat desa)
Kerjasama dengan pemerintah desa dan muspika
Modal agama dan budaya
Warga sekolah dan lingkungan yang religious
Mimiliki komunitas seni suara, karawitan, tari, rupa, dan keagamaan
Banyak tokoh agama atau budaya baik di lingkungan sekolah maupun dari orang tua/ wali murid.
Berikan beberapa contoh bagaimana materi ini juga berhubungan dengan modul lainnya yang Anda dapatkan sebelumnya selama mengikuti Pendidikan Guru Penggerak.
Kaitan dengan Modul Refeleksi Filosofis Pendidikan Nasional Ki Hajar Dewantara
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah suatu proses memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Seorang pemimpin harus mampu mengelola salah satu aset yang dimiliki sekolah yaitu modal manusia (guru dan murid). Pemimpin harus memastikan para gurunya melaksanakan pembelajaran yang berpihak kepada murid sehingga murid dapat berkembang sesuai kodratnya (kodrat alam dan kodrat zaman). Dengan demikian maka murid akan dapat memaksimalkan minat, bakat, dan potensi yang dimilikinya sebagai bekal mereka dalam menjalani kehidupannya.
Kaitan dengan Modul Nilai dan Peran Guru Penggerak
Seorang pemimpin harus mampu memastikan modal manusia yang dimiliki sekolah utamanya guru agar dapat menerapkan nilai-nilai guru penggerak dalam kesehariannya seperti mandiri, reflektif, kolaboratif, inovatif, dan berpihak pada murid. Dengan diterapkan nilai-nilai ini maka sekolah akan dapat mewujudkan murid yang memiliki profil pelajar Pancasila yaitu beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berakhlak mulia, mandiri, bernalar kritis, kebhinekaan global, bergotong royong, serta kreatif.
Kaitan dengan Modul Visi Guru Penggerak
Materi pada modul ini (Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya) juga berkaitan dengan materi visi guru penggerak. Seorang pemimpin harus mampu menyusun visi dan misi yang jelas, terarah dan tentunya visi yang disusun tersebut harus berpihak pada sumber daya yang dimiliki sekolah utamanya guru dan juga murid. Melalui penerapan Inkuiri Apresiatif dengan menggunakan tahapan BAGJA, seorang pemimpin akan dapat melakukan perubahan sekolah berbasis sumber daya yang akan menggerakkan warga sekolah untuk melakukan perubahan positif. Perubahan positif yang dilakukan secara konsisten akan melahirkan budaya positif dengan demikian modul ini pun berkaitan dengan modul 1.4 tentang budaya positif.
Kaitan dengan Modul Pembelajaran Berdiferensiasi, Sosial Emosional, dan Coaching
Dalam melaksanakan pembelajaran seorang pemimpin harus mampu melasanakan pembelajaran yang sesuai dengan minat, bakat, dan profil siswa atau yang dikenal dengan pembelajaran berdiferensiasi. Untuk dapat melaksanakan pembelajaran berdiferensiasi ini maka seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk memetakan aset/sumber daya yang dimiliki utamanya aset manusia yaitu siswa. Sehingga pembelajaran yang dilaksanakannya akan bermakna bagi siswa. Potensi-potensi dan kekuatan yang dimiliki oleh siswa dapat kita kembangkan lebih jauh lagi dengan memperhatikan sisi sosial emosional siswa. Sebagai seorang pemimpin kita harus memahami sisi sosial emosional siswa, sehingga ketika ada siswa kita yang mengalami permasalahan maka kita akan dapat memberikan layanan berupa coaching. Coaching bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk menemukan dan menggali potensi-potensi yang dimiliki siswa untuk dapat dikembangkan. Dengan demikian maka siswa akan dapat berkembang dengan maksimal.
Kaitan dengan Modul Pengambilan Keputusan sebagai Pemimpin Pembelajaran
Pada modul ini seorang pemimpin sudah mempelajari bagaimana caranya mengambil sebuah keputusan dengan sebaik-baiknya ketika berada dalam situasi dilema etika. Ada 9 langkah yang harus dilewati ketika mengambil dan menguji keputusan. Dalam pengelolaan sumber daya/aset juga dibutuhkan kemampuan seorang pemimpin dalam mengambil keputusan saat melaksanakan pengelolaan sumber daya yang dimiliki.
Ceritakan pula bagaimana hubungan antara sebelum dan sesudah Anda mengikuti modul ini, serta pemikiran apa yang sudah berubah di diri Anda setelah Anda mengikuti proses pembelajaran dalam modul ini.
Sebelum mempelajari modul 3.2 saya sering berfokus pada kekurangan/masalah, tanpa melihat potensi dan kekuatan yang mendukung, membuat kegiatan saya dan komunitas menghasilkan kegiatan yang kurang maksimal dan memerlukan waktu lama. namun setelah mempelajari modul 3.2 Fokus pada aset dan kekuatan dengan membayangkan masa depan tentang kesuksesan yang akan diraih dan berupaya memaksimalkan kekuatan untuk mencapai kesuksesan tersebut melalui cara mengorganisasikan kompetensi dan sumber daya (aset dan kekuatan), dan merancang sebuah rencana berdasarkan visi dan kekuatan.
Setelah mempelajari modul 3.2 ini paradigma berpikir saya menjadi berubah, sekarang menjadi penuh dengan rasa optimis karena saya tidak memandang semua hal dari kekurangannya tetapi saya jadikan kekurangan sebagai suatu sumber kekuatan atau aset.Saya jadi dapat mengidentifikasi aset atau modal yang dimiliki oleh sekolah. Sehingga dapat mewujudkan perubahan yang saya inginkan terkait dengan peningkatan kualitas pembelajaran. saya dapat memanfaatkan 7 aset yang meliputi modal manusia, finansial,lingkungan atau alam, politik,fisik maupun modal sosial, agama dan budaya.
Agus Rahmat yuniar, S.Kom., M.Pd.
CGP A10 K193
Durasi : 4 JP
Moda : Mandiri
Tujuan Pembelajaran Khusus: CGP dapat melakukan suatu analisis atas penerapan proses pengambilan keputusan berdasarkan pengetahuan yang telah dipelajarinya tentang berbagai paradigma, prinsip, pengambilan dan pengujian keputusan di sekolah asal masing-masing dan di sekolah/lingkungan lain.
Unsur-unsur apa saja yang Anda butuhkan dalam menjalankan pengambilan keputusan dilema etika, sebagai pemimpin pembelajaran? Dalam hal ini, kesempatan tersebut berupa mengadakan wawancara dengan pimpinan/kepala sekolah tentang praktik pengambilan keputusan selama ini di sekolah asal Anda, dan juga di tempat/lingkungan lain. Hasil wawancara ini akan Anda analisis berdasarkan konsep-konsep yang telah dipelajari di modul ini. Hasil analisis Anda akan dijadikan sebuah refleksi atas praktik pengambilan keputusan dilema etika yang telah dijalankan di sekolah asal Anda dan di sekolah-sekolah lain di lingkungan Anda.
Durasi : 12 Menit
Moda : Mandiri
Wawancara Kepala SMP Negeri 6 Sidoarjo (Suharsono, S.Pd., M.Pd.) dengan saya Agus Rahmat Yuniar CGP Angkatan 10 Kelas 193B
Tema : Kebijakan baru untuk melarang penggunaan ponsel selama jam pelajaran.
Nilai yang Berpotensi Bertentangan: Otonomi siswa (kemampuan mengakses informasi) vs. kesejahteraan dan fokus belajar.
Langkah-langkah: Adapun beberapa langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Bapak Suharsono :
Pengumpulan Informasi:
Konsultasi dengan Tim:
Identifikasi Nilai yang Bertentangan:
Evaluasi Alternatif Solusi:
Pengambilan Keputusan:
Implementasi dan Pemantauan:
Hasil: Dari langkah langkah tersebut Kepala sekolah dapat memberikan keputusan dalam pengambilan Kebijakan Penggunaan Ponsel di Kelas yang artinya SMP Negeri 6 Sidoarjo tidak melarang penggunaan ponsel selama pembelajaran seijin guru mata pelajaran/ketika diperlukan, jika tidak maka ponsel tetap dalam keadaan tersimpan, dengan demikian di SMP Negeri 6 Sidoarjo telah menyelesaikan masalah perihal larangan pengunaan ponsel selama jam pembelajaran, terimplementasi dengan jelas dan adil. SMP Negeri 6 Sidoarjo (Bpk Suharsono, S.Pd., M.Pd.) telah menerapkan budaya penggunaan ponsel dengan beretika dan menselaraskan dengan pembelajaran seiring perkembangan zaman.
Identifikasi Kasus
Bagaimana bapak suharsono melakukan identifikasi dari kasus penggunaan ponsel selama jam pelajaran ?
Pengamatan Langsung: Bapak Suharsono mengamati bahwa beberapa siswa menggunakan ponsel di kelas untuk keperluan yang tidak berhubungan dengan pelajaran, seperti bermain game atau mengakses media sosial, yang mengganggu proses belajar-mengajar.
Laporan dan Keluhan: Guru-guru melaporkan bahwa penggunaan ponsel di kelas mengganggu konsentrasi siswa lain dan mempengaruhi disiplin serta kualitas pembelajaran.
Diskusi dan Rapat: Melalui diskusi rutin dengan guru dan staf, teridentifikasi bahwa ada kebutuhan untuk menetapkan kebijakan yang jelas mengenai penggunaan ponsel di kelas.
Pengambilan Keputusan
Langkah-langkah dan prosedur yang bagaimana yang bapak suharsono lakukan dalam mensikapi kasus penggunaan ponsel selama jam pelajaran ini ?
Langkah-Langkah dan Prosedur yang Dilakukan Bapak Suharsono:
Pengumpulan Informasi:
Mengadakan rapat dengan guru dan staf untuk mendengar pendapat dan pengalaman mereka terkait penggunaan ponsel di kelas.
Mengumpulkan data dari survei kepada siswa dan orang tua mengenai pandangan mereka tentang penggunaan ponsel di sekolah.
Konsultasi dengan Tim:
Melibatkan konselor sekolah untuk memahami dampak psikologis dari penggunaan ponsel terhadap siswa.
Diskusi dengan komite sekolah dan orang tua untuk mendapatkan perspektif yang lebih luas.
Identifikasi Nilai yang Bertentangan:
Otonomi siswa (hak siswa untuk mengakses informasi) vs. kesejahteraan dan fokus belajar (menghindari gangguan selama pelajaran).
Evaluasi Alternatif Solusi:
Larangan total penggunaan ponsel di kelas.
Mengizinkan penggunaan ponsel hanya untuk keperluan pendidikan dengan pengawasan ketat.
Menyediakan zona tertentu di sekolah di mana siswa boleh menggunakan ponsel selama waktu istirahat.
Pengambilan Keputusan:
Memilih solusi yang seimbang: mengizinkan penggunaan ponsel hanya untuk keperluan pendidikan dengan pengawasan dari guru, serta menyediakan zona khusus untuk penggunaan ponsel selama istirahat.
Implementasi dan Pemantauan:
Mengkomunikasikan kebijakan baru kepada seluruh siswa, guru, dan orang tua melalui surat edaran dan pertemuan.
Memantau pelaksanaan kebijakan secara berkala dan mengumpulkan umpan balik dari semua pihak untuk evaluasi.
Efektivitas Kebijakan
Hal efektif apa yang bapak Suharsono lakukan dalam pengambilan kebijakan perihal kasus penggunaan ponsel selama jam pelajaran ?
Hal-Hal yang Dianggap Efektif:
Transparansi dan Komunikasi: Menjaga komunikasi yang terbuka dan transparan tentang tujuan dan manfaat kebijakan baru.
Keterlibatan Semua Pemangku Kepentingan: Melibatkan siswa, guru, dan orang tua dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan kebijakan.
Konsistensi dan Keadilan: Menegakkan kebijakan secara konsisten dan adil untuk semua siswa.
Tantangan dalam Pengambilan Keputusan
Tantangan apa saja yang bapak suharsono dapatkan dalam pengambilan keputusan dari kasus penggunaan ponsel selama jam pelajaran?
Hal-Hal yang Menjadi Tantangan:
Pertentangan Nilai: Menghadapi siswa dan orang tua yang merasa otonomi mereka terganggu.
Tekanan Eksternal: Tekanan dari siswa dan beberapa orang tua yang menentang kebijakan baru.
Keterbatasan Pengawasan: Kesulitan dalam memastikan bahwa penggunaan ponsel di kelas benar-benar hanya untuk keperluan pendidikan.
Prosedur dan Jadwal Penyelesaian Kasus
Bagaimana Prosedur dan jadwal penyelesaian kasus ini yang bapak suharsono lakukan ?
Penanganan Segera dan Jadwal Teratur:
Untuk masalah mendesak, Bapak Suharsono mengadakan rapat darurat dan mengambil keputusan cepat.
Untuk implementasi kebijakan, beliau menetapkan jadwal rapat berkala untuk evaluasi dan penyesuaian kebijakan berdasarkan umpan balik.
Faktor Pendukung
Faktor pendukung yang bagaimana yang membantu bapak suharsono dalam pengambilan keputusan ?
Faktor-Faktor yang Membantu:
Dukungan Tim Manajemen: Tim manajemen yang kolaboratif dan mendukung kebijakan baru.
Konselor Sekolah: Konselor yang berpengalaman membantu dalam memahami dampak kebijakan terhadap kesejahteraan siswa.
Kolaborasi dengan Komite Sekolah: Dukungan dari komite sekolah dan orang tua yang memahami pentingnya kebijakan ini.
Pembelajaran dari Pengalaman
Pembelajaran apa yang bisa kita dapat dari pengalaman penyelesaian kasus ini ?
Pembelajaran yang Dapat Dipetik:
Pentingnya Keterbukaan dan Transparansi: Komunikasi yang jelas dan transparan membantu mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Kolaborasi dan Keterlibatan: Melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses pengambilan keputusan memberikan perspektif yang lebih komprehensif dan solusi yang lebih efektif.
Konsistensi dan Integritas: Menjaga konsistensi dalam penerapan kebijakan dan bertindak dengan integritas membantu membangun reputasi yang baik dan memastikan keadilan.
Dari wawancara yang kami lakukan kami mendapat pemahaman bahwa dengan pendekatan dan prosedur ini, Bapak Suharsono mengidentifikasi dan menangani dilema etika terkait kebijakan penggunaan ponsel di kelas dengan cara yang seimbang dan efektif.
Wawancara saya dengan Bapak Suharsono mengenai kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo menunjukkan beberapa hal menarik dan penting yang dapat dianalisis menggunakan berbagai konsep etika dan prinsip pengambilan keputusan. Analisis yang lebih rinci menggunakan empat paradigma etika, tiga prinsip etika, dan sembilan langkah pengujian etika:
Hal-hal Menarik dari Wawancara
Hal yang menarik dari wawancara dengan Bapak Suharsono mengenai kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo
Pendekatan Kolaboratif: Bapak Suharsono melibatkan siswa, guru, dan orang tua dalam proses pengambilan keputusan, menunjukkan pentingnya keterlibatan semua pemangku kepentingan.
Fleksibilitas Kebijakan: Kebijakan yang diambil adalah kompromi antara larangan total dan penggunaan terbatas, yang menunjukkan fleksibilitas dalam pendekatan.
Transparansi dan Komunikasi: Kebijakan dikomunikasikan dengan jelas dan transparan, yang membantu dalam mendapatkan dukungan dari semua pihak.
Pertanyaan Mengganjal
Pertanyaan yang mengganjal dari wawancara saya dengan Bapak Suharsono mengenai kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo
Efektivitas Implementasi: Bagaimana memastikan bahwa kebijakan tersebut benar-benar diterapkan dengan konsisten di semua kelas?
Pengawasan Penggunaan Ponsel: Bagaimana guru dapat secara efektif mengawasi penggunaan ponsel untuk tujuan pendidikan?
Resistensi dari Siswa dan Orang Tua: Bagaimana menghadapi siswa dan orang tua yang mungkin tetap menentang kebijakan tersebut?
Analisis Menggunakan Empat Paradigma Etika
Saya mencoba melakaukan analisis Menggunakan Empat Paradigma Etika dengan hasil sebagai berikut:
Individu vs. Kelompok: Bapak Suharsono mengenai kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo ini mencoba menyeimbangkan kebutuhan individu siswa untuk mengakses informasi dengan kebutuhan kelompok untuk memiliki lingkungan belajar yang kondusif.
Rasa Keadilan vs. Rasa Kasihan: Kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo ini berusaha adil dengan memberikan panduan yang jelas dan konsisten, namun juga mempertimbangkan kebutuhan khusus siswa tertentu.
Kebenaran vs. Kesetiaan: Kebenaran dalam hal kebutuhan untuk fokus belajar dan menghindari gangguan bertentangan dengan kesetiaan kepada otonomi siswa dan hak mereka untuk menggunakan teknologi.
Jangka Pendek vs. Jangka Panjang: Keputusan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo ini juga mencerminkan pertimbangan antara manfaat jangka pendek (mengurangi gangguan) dan manfaat jangka panjang (mengajar siswa tentang penggunaan teknologi yang bertanggung jawab).
Analisis Menggunakan Tiga Prinsip Etika
Saya mencoba melakaukan analisis Menggunakan Tiga Prinsip Etika
Berpikir Berbasis Hasil Akhir: Kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo diharapkan menghasilkan lingkungan belajar yang lebih fokus dan kondusif, yang pada akhirnya meningkatkan kualitas pendidikan.
Berpikir Berbasis Peraturan: Kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo didasarkan pada aturan yang jelas tentang kapan dan bagaimana ponsel boleh digunakan di sekolah.
Berpikir Berbasis Rasa Peduli: Kebijakan larangan penggunaan ponsel selama jam pelajaran di SMP Negeri 6 Sidoarjo mempertimbangkan kesejahteraan siswa secara keseluruhan, termasuk aspek psikologis dan sosial dari penggunaan ponsel.
Analisis Menggunakan Sembilan Langkah Pengujian Etika
Saya mencoba melakaukan analisis Menggunakan Menggunakan Sembilan Langkah Pengujian Etika
Mengenali Nilai yang Bertentangan: Kebenaran vs. Kesetiaan Otonomi siswa & kesejahteraan dan fokus belajar.
Menentukan Siapa yang Terlibat: Siswa, guru, orang tua, staf sekolah, dan konselor.
Mengumpulkan Fakta-Fakta yang Relevan: Laporan dari guru, pengamatan langsung, survei kepada siswa dan orang tua.
Pengujian Benar atau Salah: Menggunakan ponsel untuk tujuan non-pendidikan di kelas dianggap salah karena mengganggu proses belajar.
Uji Publikasi: Apakah kebijakan ini akan dapat diterima dan didukung jika diumumkan secara luas? Ya, karena telah melibatkan semua pihak terkait.
Pengujian Paradigma Benar vs. Benar: Mengizinkan penggunaan ponsel untuk pendidikan (benar) vs. melarang penggunaan ponsel untuk menghindari gangguan (benar).
Melakukan Prinsip Resolusi: Mencari solusi yang seimbang dengan mengizinkan penggunaan ponsel untuk tujuan pendidikan dengan pengawasan ketat.
Investigasi Opsi Trilema: Mencari opsi lain seperti zona khusus untuk penggunaan ponsel selama waktu istirahat.
Buat Keputusan: Memilih solusi yang seimbang dan implementasi yang adil.
Lihat lagi Keputusan dan Refleksikan: Evaluasi dan pemantauan kebijakan secara berkala untuk memastikan efektivitas dan melakukan penyesuaian jika diperlukan.
Pendekatan yang dilakukan oleh Bapak Suharsono menunjukkan pemahaman mendalam bagi saya tentang keseimbangan antara berbagai nilai dan kebutuhan. Proses pengambilan keputusan yang transparan dan melibatkan banyak pihak menunjukkan pentingnya kolaborasi dan komunikasi dalam menghadapi dilema etika di lingkungan pendidikan.
Durasi : 12 Menit
Wawancara Kasus : Kebijakan terhadap siswa berprestasi yang terlibat dalam bullying.
Wawancara Kepala SD Negeri Celep Sidoarjo (Mu’arifah, S.Pd.) dengan saya Agus Rahmat Yuniar CGP Angkatan 10 Kelas 193B
Untuk mengidentifikasi dan menangani kasus di mana seorang siswa berprestasi terlibat dalam perilaku bullying, serta dalam mengatasi dilema etika, Ibu Muarifah.
Identifikasi Kasus
Bagaimana Ibu Muarifah melakukan identifikasi dari kasus siswa berprestasi terlibat dalam perilaku bullying ?
Pengamatan dan Laporan: Ibu Muarifah menerima laporan dari guru, siswa, atau orang tua tentang perilaku bullying. Pengamatan langsung terhadap interaksi siswa dan catatan kejadian di sekolah juga bisa memberikan indikasi.
Penyelidikan Awal: Melakukan investigasi awal dengan berbicara kepada siswa yang terlibat, baik yang menjadi korban maupun pelaku, serta saksi. Hal ini untuk memahami konteks dan sifat perilaku bullying.
Evaluasi Konteks dan Motivasi: Menilai apakah ada faktor-faktor tertentu yang memotivasi perilaku siswa berprestasi, seperti tekanan akademis, kebutuhan akan pengakuan, atau masalah pribadi.
Pengambilan Keputusan
Pertimbangan Kepentingan dan Nilai: Menilai kepentingan yang terlibat misalnya, kepentingan siswa yang berprestasi versus hak dan kesejahteraan siswa lain. Ibu Muarifah akan mempertimbangkan nilai kebajikan seperti keadilan, tanggung jawab, dan empati.
Konsultasi dan Diskusi: Melibatkan tim sekolah, termasuk guru, konselor, dan staf lain untuk mendapatkan perspektif yang berbeda. Diskusi ini membantu dalam mengevaluasi semua aspek kasus.
Penetapan Langkah-Langkah: Menentukan tindakan yang adil dan efektif. Ini bisa melibatkan konseling, pelatihan keterampilan sosial, atau disiplin sesuai kebijakan sekolah. Langkah-langkah ini bertujuan untuk memperbaiki perilaku dan mendukung siswa yang terlibat.
Langkah-Langkah atau Prosedur
Langkah-langkah dan prosedur yang bagaimana yang Ibu Muarifah lakukan dalam mensikapi kasus seorang siswa berprestasi terlibat dalam perilaku bullying ?
Penyusunan Prosedur: Membuat prosedur tertulis untuk menangani kasus bullying, termasuk langkah-langkah investigasi, tindakan disipliner, dan dukungan yang diberikan kepada semua pihak yang terlibat.
Implementasi dan Tindak Lanjut: Menjalankan tindakan yang telah ditetapkan dan memantau perkembangannya. Ini melibatkan evaluasi berkala untuk memastikan bahwa masalah terselesaikan secara efektif.
Hal-Hal yang Efektif
Hal efektif apa yang Ibu Muarifah lakukan dalam pengambilan kebijakan perihal kasus seorang siswa berprestasi terlibat dalam perilaku bullying ?
Keterlibatan Tim Sekolah: Melibatkan berbagai pihak di sekolah untuk mendapatkan perspektif yang luas dan dukungan dalam pengambilan keputusan.
Komunikasi Terbuka: Menjaga komunikasi yang jelas dengan semua pihak yang terlibat untuk memastikan bahwa semua suara didengar dan dipertimbangkan.
Pendekatan Proaktif: Menangani masalah secara proaktif dengan dukungan preventif seperti pelatihan antibullying dan keterampilan sosial.
Tantangan dalam Pengambilan Keputusan
Tantangan apa saja yang Ibu Muarifah dapatkan dalam pengambilan keputusan dari kasus seorang siswa berprestasi terlibat dalam perilaku bullying?
Dilema Kepentingan: Menyeimbangkan antara menghargai prestasi akademis siswa dan menjaga lingkungan sekolah yang aman dan adil.
Stigma dan Tekanan Sosial: Menghadapi tekanan dari pihak-pihak yang mungkin menganggap siswa berprestasi harus diperlakukan dengan lebih lembut atau istimewa.
Keterbatasan Sumber Daya: Mengelola kasus dengan keterbatasan sumber daya dan dukungan yang tersedia di sekolah.
Tatakala atau Jadwal
Bagaimana tatakala atau penjadwalan ibu muarifah dalam penanganan kasus di sekolah?
Ibu Muarifah memiliki jadwal tetap, tetapi biasanya, kasus dilema etika ditangani secepat mungkin. Keputusan biasanya dibuat dalam waktu yang wajar untuk memastikan penanganan yang efektif tanpa mengabaikan detail penting.
Faktor Pendukung
Faktor pendukung yang bagaimana yang membantu Ibu Muarifah dalam pengambilan keputusan ?
Tim Sekolah: Dukungan dari guru, konselor, dan staf lain yang berpengalaman dalam menangani kasus-kasus serupa.
Kebijakan Sekolah: Adanya kebijakan dan prosedur yang jelas mengenai penanganan bullying dan dilema etika.
Komunikasi dengan Orang Tua: Dukungan dari orang tua untuk membantu memahami dan menangani perilaku siswa.
Pembelajaran
Pembelajaran apa yang bisa kita dapat dari pengalaman penyelesaian kasus ini ?
Keseimbangan antara Prestasi dan Etika: Memahami pentingnya menyeimbangkan prestasi akademis dengan tanggung jawab sosial dan perilaku etis.
Pendekatan Holistik: Pentingnya pendekatan yang holistik dalam menangani masalah dengan melibatkan semua pihak yang terlibat dan mempertimbangkan berbagai aspek situasi.
Keterampilan Manajemen Konflik: Pembelajaran dalam mengelola konflik dan dilema etika dengan adil dan bijaksana.
Ibu Muarifah sebagai kepala sekolah memahami bahwa mengatasi dilema etika memerlukan pendekatan yang bijaksana dan kolaboratif, serta keterlibatan semua pihak untuk mencapai solusi yang adil dan bermanfaat bagi semua.
Wawancara Kepala SD Negeri Celep Sidoarjo (Mu’arifah, S.Pd.) dengan saya Agus Rahmat Yuniar CGP Angkatan 10 Kelas 193B
Durasi : 10 Menit
Wawancara saya dengan Ibu Mu’arifah, S.Pd mengenai kebijakan Pengambilan Keputusan terhadap siswa berprestasi yang terlibat dalam bullying di SD Negeri Celep Sidoarjo menunjukkan beberapa hal menarik dan penting yang dapat dianalisis menggunakan berbagai konsep etika dan prinsip pengambilan keputusan. Analisis yang lebih rinci menggunakan empat paradigma etika, tiga prinsip etika, dan sembilan langkah pengujian etika:
Hal-Hal Menarik dari Wawancara
Keterlibatan Tim Sekolah: Wawancara menunjukkan pentingnya kolaborasi antar guru, konselor, dan staf sekolah dalam menangani kasus siswa berprestasi yang terlibat dalam bullying. Ini mencerminkan pentingnya berpikir berbasis rasa peduli dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan Holistik: Penekanan pada memahami konteks sosial, emosional, dan akademis siswa menunjukkan bahwa pendekatan holistik diterapkan dalam penanganan kasus. Ini relevan dengan paradigma individu vs. kelompok dan jangka pendek vs. jangka panjang.
Penghargaan Terhadap Prestasi: Wawancara menyoroti bahwa penghargaan terhadap prestasi siswa perlu dipertimbangkan tanpa mengabaikan perilaku negatif. Ini mencerminkan paradigma kebenaran vs. kesetiaan, di mana kesetiaan kepada nilai-nilai akademik tidak boleh mengabaikan kebenaran etis.
Proses Penilaian dan Tindakan: Langkah-langkah sistematis dalam penilaian dan tindakan yang diambil menunjukkan bahwa prinsip berpikir berbasis peraturan diterapkan untuk memastikan keadilan dan konsistensi.
Pertanyaan-Pertanyaan Mengganjal
Bagaimana Menyeimbangkan Kepentingan Individu dan Kelompok?: Bagaimana keputusan diambil untuk memastikan bahwa kepentingan individu (siswa berprestasi) dan kelompok (korban dan komunitas sekolah) dipertimbangkan secara adil?
Paradigma Individu vs. Kelompok: Menunjukkan adanya ketegangan antara mendukung siswa berprestasi dan memastikan keadilan bagi seluruh siswa.
Bagaimana Memastikan Rasa Keadilan Terhadap Semua Siswa?: Bagaimana memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya berdasarkan rasa kasihan terhadap korban atau simpati terhadap siswa berprestasi, tetapi juga berdasarkan keadilan yang sejati?
Paradigma Rasa Keadilan vs. Rasa Kasihan: Menjelaskan perlunya memastikan keadilan tanpa terpengaruh oleh emosi atau preferensi pribadi.
Apa Dampak Jangka Panjang dari Keputusan?: Bagaimana memastikan bahwa keputusan yang diambil tidak hanya memecahkan masalah jangka pendek tetapi juga berdampak positif dalam jangka panjang?
Paradigma Jangka Pendek vs. Jangka Panjang: Menggambarkan pentingnya mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang dari tindakan yang diambil.
Perbandingan dengan 4 Paradigma, 3 Prinsip, dan 9 Langkah Pengujian
4 Paradigma
Individu vs. Kelompok: Keseimbangan antara kepentingan siswa berprestasi (individu) dan korban serta komunitas sekolah (kelompok) seringkali menjadi tantangan utama.
Rasa Keadilan vs. Rasa Kasihan: Menentukan hukuman atau tindakan berdasarkan keadilan tanpa terpengaruh oleh rasa kasihan terhadap siswa berprestasi.
Kebenaran vs. Kesetiaan: Menghadapi kenyataan bahwa siswa berprestasi berperilaku negatif tanpa membiarkan kesetiaan terhadap prestasi akademis mengaburkan penilaian.
Jangka Pendek vs. Jangka Panjang: Memastikan bahwa keputusan yang diambil memberikan solusi jangka pendek dan manfaat jangka panjang.
3 Prinsip
Berpikir Berbasis Hasil Akhir: Menilai konsekuensi dari tindakan yang diambil terhadap semua pihak yang terlibat.
Berpikir Berbasis Peraturan: Mengikuti aturan dan kebijakan sekolah untuk memastikan tindakan yang adil dan konsisten.
Berpikir Berbasis Rasa Peduli: Melibatkan berbagai pihak dan mempertimbangkan kesejahteraan emosional dan sosial dari semua siswa.
9 Langkah Pengujian Dilema Etik
Mengenali Nilai-Nilai yang Saling Bertentangan: Identifikasi nilai prestasi dan keadilan yang bertentangan.
Menentukan Siapa yang Terlibat dalam Situasi Ini: Siswa berprestasi, korban, guru, dan orang tua.
Mengumpulkan Fakta-Fakta yang Relevan dengan Situasi Ini: Mengumpulkan informasi dari laporan, wawancara, dan pengamatan.
Pengujian Benar atau Salah: Memastikan bahwa tindakan bullying adalah salah dan harus ditangani.
Pengujian Paradigma Benar Lawan Benar: Menilai kepentingan individu vs. kelompok, rasa keadilan vs. rasa kasihan.
Melakukan Prinsip Resolusi: Menerapkan prinsip-prinsip etis untuk mencapai keputusan yang adil.
Investigasi Opsi Trilema: Mempertimbangkan solusi alternatif yang bisa mengatasi dilema.
Membuat Keputusan: Memutuskan tindakan yang akan diambil berdasarkan analisis dan konsultasi.
Tinjau Lagi Keputusan Anda dan Refleksikan: Mengevaluasi efektivitas keputusan dan dampaknya terhadap semua pihak.
Pembelajaran yang Dapat Dipetik
Keseimbangan Nilai: Pentingnya menyeimbangkan nilai prestasi dan keadilan dalam pengambilan keputusan.
Pendekatan Holistik: Mengadopsi pendekatan yang mempertimbangkan semua aspek situasi dan melibatkan berbagai pihak.
Pengambilan Keputusan Etis: Menerapkan prinsip-prinsip etis dan paradigma dalam pengambilan keputusan untuk mencapai hasil yang adil dan bermanfaat bagi semua pihak.
Refleksi dan Evaluasi: Terus mengevaluasi keputusan yang diambil dan melakukan refleksi untuk perbaikan di masa depan.
Wawancara Pertama
Wawancara Kasus : Kebijakan Penggunaan Ponsel di Kelas
Wawancara Kepala SMP Negeri 6 Sidoarjo (Suharsono, S.Pd., M.Pd.) dengan saya Agus Rahmat Yuniar CGP Angkatan 10 Kelas 193B
Durasi : 15 Menit
Wawancara Kedua
Wawancara Kasus : Kebijakan terhadap siswa berprestasi yang terlibat dalam bullying.
Wawancara Kepala SD Negeri Celep Sidoarjo (Mu’arifah, S.Pd.) dengan saya Agus Rahmat Yuniar CGP Angkatan 10 Kelas 193B
Durasi : 10 Menit
Dalam keterampilan pengambilan keputusan, sering kali berbagai kepentingan saling berbenturan, dan ada pihak-pihak yang akan merasa dirugikan atau tidak puas atas keputusan yang diambil. Namun, perlu diingat bahwa pengambilan keputusan adalah suatu keterampilan yang dapat diasah. Semakin sering kita melakukannya, semakin terlatih, fokus, dan tepat sasaran kita dalam pengambilan keputusan. Sesulit apa pun keputusan yang harus diambil dalam situasi yang sama-sama benar, sebagai pemimpin, Dua wawancara yang kami lakukan kepada 2 orang kepala sekolah yaitu bapak Suharsono dan Ibu Muarifah dengan hasil analisa kami dapatkan bahwa dalam pengambilan keputusan mereka mendasarkan keputusan pada tiga unsur penting:
Berpihak pada Murid: Keputusan yang diambil harus selalu mengutamakan kepentingan dan kesejahteraan murid. Dalam situasi ini, menjaga integritas akademik dan memberikan kesempatan yang adil kepada semua murid sangat penting.
Berdasarkan Nilai-Nilai Kebajikan Universal: Keputusan harus mencerminkan nilai-nilai kebajikan universal seperti keadilan, kejujuran, dan kepedulian. Dalam situasi ini, memberikan dukungan kepada guru yang membutuhkan sambil memastikan keadilan dalam ujian adalah contoh penerapan nilai-nilai ini.
Bertanggung Jawab terhadap Konsekuensi: Seorang pemimpin harus siap bertanggung jawab atas segala konsekuensi dari keputusan yang diambil. Ini berarti siap menghadapi kritik dan melakukan perbaikan jika diperlukan. Dalam situasi ini, keputusan untuk mengatur ulang tes dan menetapkan kebijakan baru menunjukkan tanggung jawab terhadap integritas dan keadilan di sekolah.
Motivasi Diri
Bagaimana saya sendiri akan menerapkan pengambilan keputusan dilema etika pada lingkungan saya, pada murid-murid saya, dan pada kolega guru-guru saya yang lain? Kapan saya akan menerapkannya?
Saya akan terus mengasah keterampilan saya dalam pengambilan keputusan pada kegiatan saya sehari hari dengan berusaha menerapkan 4 Paradigma etika, 3 Prinsip, dan 9 Langkah dalam pengambilan keputusan yang beretika. Saya akan selalu berusaha merefleksikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip sebagai seorang pendidik. Pertimbangkan keadilan, integritas, dan kesejahteraan siswa dalam pengambilan keputusan. Saya akan memberikan penghargaan dan dukungan kepada siswa yang menunjukkan pengambilan keputusan etis, sehingga memperkuat nilai-nilai positif. Saya akan berusaha untuk saling dukung satu sama lain antar guru dalam menghadapi dilema etika. Diskusi terbuka dan dukungan tim dapat membantu mengurangi tekanan dan meningkatkan kualitas keputusan yang diambil. Saya akan Segera menerapkan langkah-langkah pengambilan keputusan etis ketika Anda menghadapi dilema. Saya tidak akan menunda-nunda, karena penundaan dapat memperburuk situasi. Dengan demikian saya selalu berusaha menciptakan lingkungan sekolah yang lebih etis dan mendukung perkembangan moral dan etika siswa serta rekan kerja saya.
Agus Rahmat yuniar, S.Kom., M.Pd.
CGP A10 K193
Pemikiran reflektif adalah proses merenungkan dan menganalisis pengalaman untuk mendapatkan wawasan dan pemahaman yang lebih dalam. Berikut adalah beberapa pemikiran reflektif yang mungkin terkait dengan pengalaman belajar dalam Program Guru Penggerak, terutama dalam modul-modul Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Coaching untuk Supervisi:
Refleksi tentang Pemahaman Murid:
Sejauh mana saya benar-benar memahami kebutuhan belajar individu murid saya?
Pemikiran: Saya menyadari bahwa setiap murid memiliki cara belajar dan kecepatan yang berbeda. Ini menuntut saya untuk lebih fleksibel dan kreatif dalam menyusun rencana pelajaran. Saya juga perlu mengembangkan alat penilaian yang lebih baik untuk memahami kebutuhan mereka.
Refleksi tentang Implementasi Strategi:
Strategi apa yang paling efektif dalam memenuhi kebutuhan murid yang beragam?
Pemikiran: Saya menemukan bahwa beberapa strategi, seperti pembelajaran berbasis proyek dan kelompok kecil, sangat efektif. Namun, penerapannya memerlukan perencanaan yang matang dan kemampuan untuk menyesuaikan pendekatan di tengah pelajaran.
Refleksi tentang Tantangan dan Frustrasi:
Bagaimana saya dapat mengatasi frustrasi yang muncul saat menghadapi tantangan dalam pembelajaran berdiferensiasi?
Pemikiran: Saya perlu mencari dukungan dari rekan kerja dan terus belajar dari pengalaman mereka. Selain itu, penting untuk tetap sabar dan terus mencoba berbagai pendekatan hingga menemukan yang paling cocok.
Refleksi tentang Peningkatan Kesejahteraan Murid:
Bagaimana pembelajaran sosial emosional telah meningkatkan kesejahteraan murid saya?
Pemikiran: Saya melihat peningkatan dalam cara murid berinteraksi dan menyelesaikan konflik. Ini menunjukkan bahwa pembelajaran sosial emosional memiliki dampak positif yang signifikan.
Refleksi tentang Tantangan PSE:
Apa saja tantangan utama dalam mengintegrasikan PSE ke dalam kurikulum?
Pemikiran: Salah satu tantangan utama adalah kurangnya waktu dan sumber daya. Namun, saya menyadari bahwa integrasi PSE tidak harus dilakukan secara formal; bisa dilakukan melalui interaksi sehari-hari dan pendekatan pengajaran yang suportif.
Refleksi tentang Keterampilan yang Diperlukan:
Keterampilan apa yang perlu saya kembangkan untuk lebih efektif dalam mengajarkan PSE?
Pemikiran: Saya perlu mengembangkan keterampilan dalam mendengarkan aktif, empati, dan menangani konflik. Selain itu, penting untuk terus mengikuti pelatihan dan mencari sumber daya tambahan untuk meningkatkan pemahaman saya tentang PSE.
Refleksi tentang Peran Sebagai Coach:
Bagaimana peran saya sebagai coach dapat mendukung pengembangan profesional rekan kerja saya?
Pemikiran: Saya menyadari bahwa sebagai coach, peran saya adalah membantu rekan kerja menemukan solusi mereka sendiri melalui pertanyaan yang memberdayakan dan umpan balik yang konstruktif. Ini memerlukan kesabaran dan keterampilan mendengarkan yang baik.
Refleksi tentang Efektivitas Coaching:
Apa indikator keberhasilan dalam proses coaching yang saya lakukan?
Pemikiran: Keberhasilan dapat dilihat dari perubahan positif dalam praktik mengajar rekan kerja dan peningkatan kepercayaan diri mereka. Umpan balik positif dari rekan kerja juga menjadi indikator penting.
Refleksi tentang Tantangan dalam Coaching:
Tantangan apa yang saya hadapi dalam melakukan coaching dan bagaimana cara mengatasinya?
Pemikiran: Tantangan utama adalah menjaga keseimbangan antara peran sebagai guru dan coach. Saya perlu belajar mengelola waktu dengan lebih baik dan memastikan bahwa saya tetap fokus pada tujuan utama coaching.
Refleksi tentang Pertumbuhan Pribadi:
Bagaimana pengalaman ini telah berkontribusi pada pertumbuhan pribadi dan profesional saya?
Pemikiran: Program ini telah memperkaya pemahaman saya tentang pendidikan yang inklusif dan berpihak pada murid. Saya merasa lebih percaya diri dan siap untuk menghadapi tantangan baru dalam dunia pendidikan.
Refleksi tentang Dampak terhadap Murid:
Bagaimana perubahan yang saya lakukan berdampak pada murid saya?
Pemikiran: Saya melihat bahwa murid menjadi lebih terlibat, percaya diri, dan mampu berkolaborasi dengan lebih baik. Ini menunjukkan bahwa pendekatan yang saya gunakan berhasil meningkatkan pengalaman belajar mereka.
Refleksi tentang Kolaborasi dengan Rekan Kerja:
Bagaimana kolaborasi dengan rekan kerja mendukung proses belajar saya?
Pemikiran: Kolaborasi dengan rekan kerja memberikan wawasan baru dan membantu saya melihat berbagai perspektif. Diskusi dan berbagi pengalaman membuat saya lebih termotivasi dan siap untuk mencoba pendekatan baru.
Melalui refleksi ini, saya dapat terus belajar dan mengembangkan diri, memastikan bahwa kami tidak hanya mengajar dengan lebih efektif tetapi juga tumbuh sebagai individu dan profesional.
Pengalaman dalam Program Guru Penggerak, khususnya dalam Modul 2, berfokus pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan yang diperlukan untuk menciptakan lingkungan belajar yang inklusif, suportif, dan efektif :
Pengalaman yang saya dapat pada PGP A10 Pembelajaran Berdiferensiasi:
Pengenalan Konsep dan Teori:
Saya mempelajari konsep dasar pembelajaran berdiferensiasi, memahami pentingnya dan teori yang mendasarinya.
Penilaian Awal dan Identifikasi Kebutuhan:
Menggunakan berbagai alat dan teknik untuk menilai kebutuhan, minat, dan gaya belajar individu murid.
Praktik langsung dalam kelas untuk mengidentifikasi variasi dalam kemampuan dan kesiapan belajar.
Perencanaan Pembelajaran:
Merancang rencana pelajaran yang fleksibel dan mampu disesuaikan dengan kebutuhan murid yang berbeda.
Menyusun materi yang dapat diadaptasi untuk berbagai tingkat kemampuan dan gaya belajar.
Implementasi Strategi:
Menerapkan berbagai strategi pembelajaran berdiferensiasi dalam kelas, seperti pembelajaran berbasis proyek, kelompok kecil, dan kegiatan mandiri.
Pengalaman langsung mengelola kelas yang beragam dan menyesuaikan metode pengajaran sesuai kebutuhan murid.
Refleksi dan Evaluasi:
Melakukan refleksi atas praktik yang dilakukan dan mengevaluasi efektivitas strategi yang digunakan.
Menggunakan umpan balik dari murid untuk terus memperbaiki pendekatan pembelajaran berdiferensiasi.
Pengalaman yang saya dapat pada PGP A10 Pembelajaran Sosial Emosional:
Pemahaman Dasar PSE:
Memahami pentingnya pembelajaran sosial emosional (PSE) dan bagaimana hal ini mempengaruhi kesejahteraan dan prestasi akademis murid.
Mempelajari kompetensi inti PSE seperti kesadaran diri, pengelolaan diri, kesadaran sosial, keterampilan berhubungan, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab.
Pengembangan Program PSE:
Merancang dan mengintegrasikan program PSE dalam kurikulum harian.
Mengembangkan aktivitas dan materi yang mendukung perkembangan sosial emosional murid.
Praktik dan Implementasi:
Menggunakan berbagai strategi untuk mengajarkan keterampilan sosial dan emosional di kelas.
Praktik langsung dalam menciptakan lingkungan kelas yang mendukung perkembangan sosial emosional murid.
Mengelola Konflik dan Membangun Hubungan Positif:
Menerapkan teknik untuk menangani konflik antar murid dan membangun hubungan yang positif.
Pengalaman dalam menggunakan pendekatan restoratif untuk memperbaiki hubungan dan membangun komunitas kelas yang harmonis.
Pengalaman yang saya dapat pada PGP A10 Coaching untuk Supervisi:
Pemahaman Prinsip Coaching:
Mempelajari dasar-dasar coaching dan bagaimana penerapannya dalam konteks pendidikan.
Memahami perbedaan antara coaching, mentoring, dan konsultasi.
Pengembangan Keterampilan Coaching:
Mengembangkan keterampilan dasar coaching seperti mendengarkan aktif, bertanya yang memberdayakan, dan memberikan umpan balik konstruktif.
Praktik langsung dalam melakukan sesi coaching dengan rekan guru.
Coaching untuk Pengembangan Profesional:
Menggunakan coaching untuk mendukung pengembangan profesional guru lainnya.
Studi kasus dan praktik terbaik dalam coaching yang efektif di lingkungan sekolah.
Supervisi dan Evaluasi Berbasis Coaching:
Menerapkan pendekatan coaching dalam supervisi dan evaluasi kinerja guru.
Teknik untuk memberikan umpan balik yang mendukung dan menginspirasi peningkatan kinerja guru tanpa menghakimi.
Secara keseluruhan, pengalaman dalam Program Guru Penggerak melalui modul-modul ini memberikan guru pengetahuan dan keterampilan praktis yang dapat langsung diterapkan di kelas. Guru belajar untuk lebih memahami dan memenuhi kebutuhan murid secara efektif, serta mengembangkan kemampuan kepemimpinan yang diperlukan untuk mendukung rekan-rekan mereka dalam meningkatkan kualitas pendidikan.
Mengikuti Program Guru Penggerak dan mempelajari modul-modul seperti Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional, dan Coaching untuk Supervisi tentu membawa berbagai emosi yang dirasakan oleh guru:
Dalam pembelajaran berdiferensiasi saya merasa:
Antusiasme:
Semangat untuk mempelajari konsep dan strategi baru yang dapat meningkatkan efektivitas pengajaran di kelas.
Kepuasan:
Merasa puas ketika berhasil mengidentifikasi kebutuhan belajar murid dan merancang pelajaran yang sesuai dengan kebutuhan tersebut.
Kepuasan melihat peningkatan dalam keterlibatan dan pencapaian murid.
Frustrasi:
Mengalami tantangan dalam menyesuaikan strategi untuk memenuhi berbagai kebutuhan individu murid.
Kesulitan dalam mengelola waktu dan sumber daya untuk merancang dan mengimplementasikan pembelajaran berdiferensiasi.
Bangga:
Merasa bangga saat melihat dampak positif dari pembelajaran berdiferensiasi pada perkembangan murid.
Dalam pembelajaran Pembelajaran Sosial Emosional saya merasa:
Kepedulian:
Meningkatnya rasa empati dan kepedulian terhadap kesejahteraan sosial dan emosional murid.
Kesadaran akan pentingnya menciptakan lingkungan yang aman dan suportif bagi murid.
Kekhawatiran:
Khawatir tentang bagaimana cara terbaik untuk menangani masalah sosial dan emosional murid.
Kekhawatiran tentang kemampuan diri sendiri dalam memberikan dukungan yang memadai.
Kelegaan:
Merasa lega ketika melihat murid mampu mengatasi masalah sosial dan emosional mereka dengan bantuan strategi PSE yang diterapkan.
Terinspirasi:
Terinspirasi oleh perubahan positif dalam perilaku dan hubungan antar murid yang terjadi karena penerapan PSE.
Dalam pembelajaran Coaching untuk Supervisi saya merasa::
Percaya Diri:
Meningkatnya kepercayaan diri dalam memberikan coaching dan supervisi kepada rekan kerja.
Merasa lebih kompeten dalam memberikan umpan balik yang konstruktif dan mendukung.
Kebingungan:
Mengalami kebingungan dalam memahami perbedaan antara coaching, mentoring, dan konsultasi pada awalnya.
Kepuasan:
Merasa puas ketika melihat dampak positif dari coaching terhadap pengembangan profesional rekan kerja.
Keberdayaan:
Merasa lebih berdaya dalam membantu rekan kerja mengatasi tantangan mereka dan mencapai tujuan profesional mereka.
Tertekan:
Merasa tertekan oleh tanggung jawab tambahan dalam memberikan coaching dan supervisi.
Stres dalam menyeimbangkan peran sebagai guru dan coach/supervisor.
Motivasi:
Termotivasi untuk terus belajar dan mengembangkan diri demi memberikan yang terbaik bagi murid dan sekolah.
Rasa Syukur:
Bersyukur mendapatkan kesempatan untuk mengikuti program ini dan memperoleh keterampilan baru yang berguna.
Kebanggaan:
Merasa bangga menjadi bagian dari perubahan positif dalam sistem pendidikan.
Kebingungan:
Bingung dan tertantang saat mempelajari konsep-konsep baru yang kompleks.
Kekecewaan:
Mengalami kekecewaan saat strategi yang diterapkan tidak berjalan sesuai rencana atau harapan.
Pengalaman dalam Program Guru Penggerak penuh dengan berbagai emosi yang mencerminkan tantangan dan keberhasilan yang dihadapi guru dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas pendidikan.Hal ini merupakan bagian dari perjalanan pengembangan profesional yang kaya dan bermakna.
Modul 2.1: Pembelajaran Berdiferensiasi
1. Pengenalan Konsep dan Teori
Analisis: Pemahaman mendalam tentang konsep pembelajaran berdiferensiasi penting untuk mengatasi kebutuhan murid yang beragam. Guru perlu menguasai teori untuk merancang strategi yang tepat.
Implementasi: Guru dapat mengikuti pelatihan tambahan dan mengakses literatur yang relevan untuk memperkuat pemahaman mereka. Diskusi kelompok atau komunitas belajar dapat membantu dalam berbagi wawasan dan pengalaman praktis.
2. Penilaian Awal dan Identifikasi Kebutuhan
Analisis: Penilaian awal yang efektif memungkinkan guru memahami variasi dalam kemampuan dan gaya belajar murid. Hal ini menjadi dasar dalam merancang pembelajaran yang tepat sasaran.
Implementasi: Guru dapat menggunakan alat penilaian seperti survei, tes diagnostik, dan observasi kelas. Hasil penilaian dapat digunakan untuk mengelompokkan murid berdasarkan kebutuhan belajar mereka.
3. Perencanaan Pembelajaran
Analisis: Perencanaan yang fleksibel memungkinkan penyesuaian strategi pembelajaran sesuai dengan kebutuhan individu murid. Ini membantu dalam menciptakan lingkungan belajar yang inklusif.
Implementasi: Guru dapat merancang rencana pelajaran yang mencakup berbagai metode pengajaran, seperti pembelajaran berbasis proyek, diskusi kelompok, dan kegiatan mandiri. Sumber daya digital dan teknologi pendidikan juga bisa dimanfaatkan untuk mendukung pembelajaran berdiferensiasi.
4. Implementasi Strategi
Analisis: Implementasi yang efektif memerlukan keterampilan dalam mengelola kelas yang beragam dan fleksibilitas dalam metode pengajaran.
Implementasi: Guru perlu melakukan evaluasi terus-menerus terhadap efektivitas strategi yang digunakan. Mengumpulkan umpan balik dari murid dan melakukan refleksi rutin dapat membantu dalam menyesuaikan pendekatan pengajaran.
5. Refleksi dan Evaluasi
Analisis: Refleksi dan evaluasi membantu guru memahami dampak dari strategi yang diterapkan dan mengidentifikasi area yang perlu ditingkatkan.
Implementasi: Guru dapat melakukan refleksi bersama rekan kerja atau dalam komunitas belajar. Evaluasi dapat dilakukan melalui analisis hasil belajar murid dan observasi kelas.
Modul 2.2: Pembelajaran Sosial Emosional
1. Pemahaman Dasar PSE
Analisis: Memahami pentingnya PSE dalam perkembangan murid membantu guru menciptakan lingkungan yang mendukung kesejahteraan emosional murid.
Implementasi: Guru dapat mengikuti pelatihan PSE dan mengintegrasikan kompetensi inti PSE ke dalam rencana pelajaran harian. Aktivitas seperti diskusi kelompok dan role-playing dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial dan emosional.
2. Pengembangan Program PSE
Analisis: Program PSE yang terintegrasi dalam kurikulum mendukung perkembangan holistik murid.
Implementasi: Guru dapat merancang program PSE yang mencakup aktivitas harian, mingguan, atau bulanan. Melibatkan orang tua dan komunitas sekolah dalam program ini juga dapat meningkatkan efektivitasnya.
3. Praktik dan Implementasi
Analisis: Praktik langsung dalam mengajarkan keterampilan sosial dan emosional membantu murid mengaplikasikan keterampilan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Implementasi: Guru dapat menggunakan strategi seperti circle time, meditasi, dan kegiatan reflektif untuk mengajarkan PSE. Menciptakan lingkungan kelas yang suportif dan inklusif adalah kunci keberhasilan implementasi PSE.
4. Mengelola Konflik dan Membangun Hubungan Positif
Analisis: Keterampilan dalam mengelola konflik dan membangun hubungan positif penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang harmonis.
Implementasi: Guru dapat menggunakan pendekatan restoratif untuk menyelesaikan konflik dan membangun komunitas kelas yang kuat. Pelatihan tambahan dalam teknik mediasi dan fasilitasi diskusi dapat mendukung keterampilan ini.
Modul 2.3: Coaching untuk Supervisi
1. Pemahaman Prinsip Coaching
Analisis: Pemahaman prinsip coaching membantu guru mendukung pengembangan profesional rekan kerja dengan cara yang efektif dan memberdayakan.
Implementasi: Guru dapat mempelajari dasar-dasar coaching melalui pelatihan atau membaca literatur terkait. Membentuk kelompok coaching dengan rekan kerja dapat membantu dalam praktik langsung.
2. Pengembangan Keterampilan Coaching
Analisis: Keterampilan dasar coaching seperti mendengarkan aktif dan memberikan umpan balik konstruktif sangat penting untuk keberhasilan coaching.
Implementasi: Guru dapat melakukan simulasi coaching dengan rekan kerja untuk mengasah keterampilan mereka. Menerapkan teknik coaching dalam interaksi sehari-hari dengan rekan kerja juga dapat memperkuat keterampilan ini.
3. Coaching untuk Pengembangan Profesional
Analisis: Coaching yang efektif dapat mendukung rekan kerja dalam mengatasi tantangan dan mencapai tujuan profesional mereka.
Implementasi: Guru dapat merancang sesi coaching yang terstruktur dan berfokus pada kebutuhan spesifik rekan kerja. Menggunakan alat evaluasi dan umpan balik untuk mengukur kemajuan juga penting dalam proses ini.
4. Supervisi dan Evaluasi Berbasis Coaching
Analisis: Pendekatan coaching dalam supervisi dan evaluasi membantu menciptakan budaya kerja yang suportif dan kolaboratif.
Implementasi: Guru dapat mengintegrasikan teknik coaching dalam proses supervisi dan evaluasi. Menggunakan pendekatan non-judgmental dan berfokus pada pengembangan dapat meningkatkan efektivitas supervisi.
Implementasi modul-modul dalam Program Guru Penggerak memerlukan pendekatan yang komprehensif dan berfokus pada pengembangan profesional guru serta kesejahteraan murid. Guru perlu terus belajar dan beradaptasi dengan berbagai metode dan strategi yang relevan, sambil mengedepankan refleksi dan kolaborasi dengan rekan kerja untuk mencapai hasil yang optimal.
Sebagai guru penggerak di Sidoarjo, saya mungkin akan menghadapi berbagai tantangan spesifik dalam penerapan modul Pembelajaran Berdiferensiasi, Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), dan Coaching untuk Supervisi. Tantangan yang mungkin dihadapi di lingkungan sekolah dan pemerintah daerah, & strategi untuk mengatasinya:
Tantangan di Lingkungan Sekolah
Keterbatasan Pelatihan untuk Guru
Tantangan: Tidak semua guru di sekolah mungkin memiliki pelatihan atau pemahaman yang memadai tentang pembelajaran berdiferensiasi.
Strategi Mengatasi:
Workshop Internal: Mengadakan workshop atau sesi pelatihan internal untuk meningkatkan pemahaman dan keterampilan guru dalam pembelajaran berdiferensiasi.
Sumber Daya Digital: Menyediakan akses ke materi pelatihan online atau sumber daya yang mendukung praktik berdiferensiasi.
Resistensi Terhadap Perubahan
Tantangan: Beberapa guru atau staf mungkin enggan mengubah metode pengajaran mereka atau tidak percaya pada efektivitas pembelajaran berdiferensiasi.
Strategi Mengatasi:
Demonstrasi dan Bukti: Menunjukkan hasil positif dari penerapan pembelajaran berdiferensiasi dengan data dan testimoni. Melibatkan guru dalam pilot project untuk menunjukkan manfaat langsung.
Kolaborasi dan Dukungan: Membentuk tim kerja untuk mendukung guru dalam menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan memberikan bimbingan berkelanjutan.
Kurangnya Kesadaran tentang PSE
Tantangan: Kurangnya pemahaman tentang pentingnya PSE di kalangan guru, murid, atau orang tua.
Strategi Mengatasi:
Edukasi dan Sosialisasi: Mengadakan sesi informasi dan pelatihan tentang manfaat PSE bagi semua pihak terkait, termasuk orang tua.
Aktivitas PSE: Mengintegrasikan kegiatan PSE ke dalam kurikulum dan rutin kelas untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman.
Keterbatasan Waktu dalam Kurikulum
Tantangan: Integrasi PSE dalam jadwal pelajaran yang sudah padat.
Strategi Mengatasi:
Pengintegrasian yang Fleksibel: Menyisipkan elemen PSE dalam kegiatan yang sudah ada, seperti diskusi atau proyek kelompok.
Program PSE Tambahan: Menambahkan sesi khusus untuk PSE di luar waktu pelajaran inti jika memungkinkan.
Keterbatasan Keterampilan Coaching di Antara Staf
Tantangan: Tidak semua guru atau staf mungkin memiliki keterampilan coaching yang memadai.
Strategi Mengatasi:
Pelatihan Coaching: Menyediakan pelatihan dan bimbingan khusus tentang teknik coaching untuk staf sekolah.
Model Role-Playing: Mengadakan sesi simulasi coaching untuk meningkatkan keterampilan dan memberikan umpan balik.
Waktu Terbatas untuk Coaching
Tantangan: Menyediakan waktu untuk sesi coaching sambil menangani tanggung jawab mengajar lainnya.
Strategi Mengatasi:
Jadwal Terencana: Menyusun jadwal khusus untuk coaching yang terintegrasi dalam rutinitas harian.
Prioritas: Memprioritaskan sesi coaching berdasarkan kebutuhan dan dampaknya terhadap pengembangan profesional.
Tantangan dari Pemerintah Daerah Sidoarjo
Kurangnya Dukungan Kebijakan
Tantangan: Kebijakan atau regulasi dari pemerintah daerah mungkin tidak sepenuhnya mendukung implementasi pembelajaran berdiferensiasi.
Strategi Mengatasi:
Advokasi: Berkomunikasi dengan pihak berwenang untuk menyampaikan kebutuhan dan manfaat pembelajaran berdiferensiasi. Menyusun proposal yang menjelaskan bagaimana kebijakan yang mendukung bisa meningkatkan kualitas pendidikan.
Perencanaan Terintegrasi: Bekerja sama dengan dinas pendidikan untuk menyesuaikan kebijakan lokal dengan kebutuhan praktis di lapangan.
Keterbatasan Anggaran
Tantangan: Keterbatasan anggaran dari pemerintah daerah dapat membatasi akses ke sumber daya atau pelatihan yang diperlukan untuk pembelajaran berdiferensiasi.
Strategi Mengatasi:
Pengajuan Dana: Mencari pendanaan tambahan melalui hibah atau sponsor untuk mendukung pelatihan dan pembelian materi.
Efisiensi Sumber Daya: Menggunakan sumber daya yang ada secara optimal dan kreatif. Memanfaatkan alat dan materi yang terjangkau atau gratis.
Kebijakan yang Belum Terintegrasi
Tantangan: Kebijakan pemerintah daerah mungkin belum sepenuhnya mendukung integrasi PSE dalam kurikulum sekolah.
Strategi Mengatasi:
Advokasi Kebijakan: Menyusun laporan dan proposal yang menjelaskan manfaat PSE dan bagaimana penerapannya dapat meningkatkan kualitas pendidikan di daerah.
Pilot Program: Mengusulkan program percontohan PSE yang bisa dijadikan contoh keberhasilan untuk diterapkan lebih luas.
Kurangnya Dana untuk Program PSE
Tantangan: Pembiayaan untuk program PSE mungkin tidak tersedia atau terbatas.
Strategi Mengatasi:
Pendanaan Alternatif: Mencari sumber dana tambahan dari lembaga non-profit atau sponsor.
Optimasi Anggaran: Menggunakan dana yang ada secara efisien
Kebijakan Supervisi yang Kaku
Tantangan: Kebijakan pemerintah daerah tentang supervisi dan evaluasi mungkin kaku dan tidak mendukung pendekatan coaching.
Strategi Mengatasi:
Dialog Kebijakan: Berbicara dengan pihak berwenang untuk menyarankan perubahan atau penyesuaian kebijakan yang mendukung pendekatan coaching.
Pembuktian Model: Menyediakan data dan laporan yang menunjukkan efektivitas coaching dalam pengembangan profesional guru.
Kurangnya Dukungan untuk Program Coaching
Tantangan: Kurangnya dukungan atau anggaran dari pemerintah daerah untuk program coaching dan supervisi.
Strategi Mengatasi:
Proposal Dana: Mengajukan proposal untuk pendanaan khusus yang mendukung program coaching.
Sumber Daya Komunitas: Mencari dukungan dari organisasi atau lembaga pendidikan lokal yang mungkin tertarik berinvestasi dalam program coaching.
Menghadapi tantangan dalam penerapan dalam hal ini memerlukan pendekatan yang strategis, kolaboratif, dan inovatif. Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, mencari solusi kreatif, dan berkomunikasi efektif dengan pemerintah daerah dan rekan kerja, Kita dapat mengatasi hambatan dan berhasil menerapkan praktik pendidikan yang bermanfaat di Sidoarjo.
Untuk membuat keterhubungan melalui refleksi yang memunculkan koneksi pembelajaran dari modul-modul dalam Program Guru Penggerak dengan indikator-indikator berikut, berikut adalah pendekatan yang dapat digunakan:
Modul 2.1: Pembelajaran Berdiferensiasi
Refleksi: Pengalaman saya sebelumnya menunjukkan bahwa metode pembelajaran satu ukuran untuk semua sering kali tidak memenuhi kebutuhan semua murid. Ini memotivasi saya untuk mencari cara yang lebih efektif untuk mendukung murid dengan berbagai kebutuhan belajar.
Keterhubungan: Dengan modul ini, saya dapat menerapkan pembelajaran berdiferensiasi untuk mengatasi tantangan yang saya hadapi sebelumnya. Ini termasuk menggunakan berbagai strategi dan teknik yang sesuai dengan gaya dan tingkat kemampuan murid.
Modul 2.2: Pembelajaran Sosial Emosional
Refleksi: Dari pengalaman sebelumnya, saya menyadari pentingnya kesejahteraan emosional murid dalam menciptakan lingkungan belajar yang positif. Saya pernah melihat dampak positif ketika murid merasa didukung secara emosional.
Keterhubungan: Modul ini memberikan alat dan strategi untuk lebih efektif dalam mendukung kesejahteraan emosional murid. Saya dapat mengintegrasikan praktik PSE ke dalam kegiatan harian dan interaksi dengan murid.
Modul 2.3: Coaching untuk Supervisi
Refleksi: Sebelumnya, saya mengalami tantangan dalam memberikan umpan balik yang konstruktif kepada rekan kerja. Saya merasa perlu untuk meningkatkan keterampilan coaching saya untuk mendukung pengembangan mereka.
Keterhubungan: Modul ini membantu saya memahami prinsip-prinsip coaching yang dapat diterapkan dalam supervisi dan pengembangan profesional rekan kerja. Ini memberikan panduan tentang bagaimana memberikan dukungan yang lebih efektif dan memberdayakan.
Modul 2.1: Pembelajaran Berdiferensiasi
Penerapan: Saya akan menerapkan strategi pembelajaran berdiferensiasi dengan merancang pelajaran yang lebih adaptif dan responsif terhadap kebutuhan murid. Ini termasuk penggunaan teknologi untuk personalisasi pembelajaran dan metode penilaian yang beragam.
Modul 2.2: Pembelajaran Sosial Emosional
Penerapan: Saya akan mengintegrasikan elemen PSE dalam setiap pelajaran dan menciptakan ruang kelas yang mendukung pengembangan sosial dan emosional murid. Program dan aktivitas PSE akan menjadi bagian integral dari kurikulum saya.
Modul 2.3: Coaching untuk Supervisi
Penerapan: Saya akan menerapkan teknik coaching dalam sesi supervisi dan pengembangan profesional rekan kerja. Ini termasuk memberikan umpan balik yang konstruktif, membantu rekan kerja menetapkan tujuan, dan mendukung mereka dalam mencapai tujuan tersebut.
Pembelajaran Berdiferensiasi:
Keterhubungan dengan Modul Lain: Konsep pembelajaran sosial emosional yang mendukung kesejahteraan murid dapat dipadukan dengan pembelajaran berdiferensiasi. Misalnya, menciptakan lingkungan yang emosional positif dapat meningkatkan efektivitas pembelajaran berdiferensiasi.
Pembelajaran Sosial Emosional:
Keterhubungan dengan Modul Lain: Teknik coaching dapat digunakan untuk mengajarkan keterampilan sosial emosional kepada rekan kerja dan murid. Menggunakan prinsip coaching dalam mendukung perkembangan sosial emosional dapat meningkatkan efektivitas program PSE.
Coaching untuk Supervisi:
Keterhubungan dengan Modul Lain: Pembelajaran berdiferensiasi dan PSE dapat diterapkan dalam konteks coaching. Sebagai coach, saya dapat menggunakan prinsip-prinsip diferensiasi untuk menyesuaikan pendekatan coaching saya dengan kebutuhan individu rekan kerja.
Pembelajaran Berdiferensiasi:
Sumber Lain: Diskusi dengan rekan kerja dan mentor yang berpengalaman dalam pembelajaran berdiferensiasi telah memberikan wawasan berharga. Buku dan artikel tentang pembelajaran diferensiasi juga menawarkan strategi dan teknik yang praktis.
Pembelajaran Sosial Emosional:
Sumber Lain: Pelatihan dari ahli PSE dan sumber online tentang praktik terbaik dalam pendidikan sosial emosional memberikan panduan tambahan. Sumber daya ini membantu saya memahami cara efektif untuk mengintegrasikan PSE ke dalam kurikulum.
Coaching untuk Supervisi:
Sumber Lain: Bimbingan dari pelatih profesional dan materi pelatihan coaching memberikan wawasan tentang teknik coaching yang efektif. Mengikuti kursus dan workshop tentang coaching juga meningkatkan keterampilan saya dalam memberikan dukungan profesional kepada rekan kerja.
Dengan membuat keterhubungan ini, guru dapat melihat bagaimana pengalaman masa lalu, penerapan di masa mendatang, praktik baik dari modul lain, dan informasi dari berbagai sumber saling berinteraksi. Hal ini membantu dalam menciptakan pendekatan yang terintegrasi dan efektif dalam implementasi modul-modul Program Guru Penggerak.
Penyampaian keterkaitan materi itu menandakan sejauh mana penguasaan dan pemahaman terhadap materi tersebut. CGP menyimpulkan dan menjelaskan keterkaitan materi yang diperoleh dan membuat refleksi berdasarkan pemahaman yang dibangun selama modul 2 dalam berbagai media.
Konsep Coaching secara Umum: Coaching didefinisikan sebagai sebuah proses kolaborasi yang berfokus pada solusi, berorientasi pada hasil dan sistematis, dimana coach memfasilitasi peningkatan atas performa kerja, pengalaman hidup, pembelajaran diri, dan pertumbuhan pribadi dari coachee (Grant, 1999).
Coaching sebagai kunci pembuka potensi seseorang untuk untuk memaksimalkan kinerjanya (Whitmore, 2003). Coaching sebagai “…bentuk kemitraan bersama klien (coachee) untuk memaksimalkan potensi pribadi dan profesional yang dimilikinya melalui proses yang menstimulasi dan mengeksplorasi pemikiran dan proses kreatif.” (International Coach Federation -ICF).
Coaching dalam Konteks Pendidikan: Tujuan pendidikan itu ‘menuntun’ tumbuhnya atau hidupnya kekuatan kodrat anak sehingga dapat memperbaiki lakunya. Keterampilan coaching perlu dimiliki para pendidik untuk menuntun segala kekuatan kodrat (potensi) agar mencapai keselamatan dan kebahagiaan sebagai manusia maupun anggota masyarakat.
Proses coaching sebagai komunikasi pembelajaran antara guru dan murid, murid diberikan ruang kebebasan untuk menemukan kekuatan dirinya dan peran pendidik sebagai ‘pamong’ dalam memberi tuntunan dan memberdayakan potensi yang ada agar murid tidak kehilangan arah dan menemukan kekuatan dirinya tanpa membahayakan dirinya.
Paradigma Berfikir Coaching: Tindakan untuk dapat membantu rekan sejawat untuk mengembangkan kompetensi diri mereka dan menjadi otonom, pentingnya perlu memiliki paradigma berpikir coaching terlebih dahulu.
Paradigma tersebut adalah
(1) Fokus pada coachee/rekan yang akan dikembangkan,
(2) Bersikap terbuka dan ingin tahu,
(3) Memiliki kesadaran diri yang kuat,
(4) Mampu melihat peluang baru dan masa depan.
Prinsip Coaching:
(1) Kemitraan adalah posisi coach terhadap coachee-nya adalah mitra. Itu berarti setara dalam coaching, tidak ada yang lebih tinggi maupun lebih rendah.
Coachee adalah sumber belajar bagi dirinya sendiri. Coach merupakan rekan berpikir bagi coachee-nya dalam membantu coachee belajar dari dirinya sendiri.
(2) Proses kreatif adalah dilakukan melalui percakapan, yang dua arah, memicu proses berpikir coachee, memetakan dan menggali situasi coachee untuk menghasilkan ide-ide baru.
(3) Memaksimalkan potensi adalah memaksimalkan potensi dan memberdayakan rekan sejawat, percakapan perlu diakhiri dengan suatu rencana tindak lanjut yang diputuskan oleh rekan yang dikembangkan.
Kompetensi Inti Coaching:
(1) Mengajukan pertanyaan berbobot adalah mengajukan pertanyaan dengan tujuan tertentu atau pertanyaan berbobot.
Pertanyaan yang diajukan seorang coach diharapkan menggugah orang untuk berpikir dan dapat menstimulasi pemikiran coachee, memunculkan hal-hal yang mungkin belum terpikirkan sebelumnya, mengungkapkan emosi atau nilai dalam diri dan yang dapat mendorong coachee untuk membuat sebuah aksi bagi pengembangan diri dan kompetensi.
(2) Mendengarkan dengan aktif adalah kemampuan untuk fokus pada apa yang dikatakan oleh lawan bicara dan memahami keseluruhan makna yang tidak terucap.
(3) Kehadiran penuh (presence) adalah kemampuan untuk bisa hadir utuh pada coachee, atau di dalam coaching disebut sebagai coaching presense sehingga badan, pikiran, hati, selaras saat sedang melakukan percakapan coaching. Kehadiran penuh ini adalah bagian dari kesadaran diri yang akan membantu munculnya paradigma berpikir dan kompetensi lain saat kita melakukan percakapan coaching.
Alur Percakapan TIRTA:
Tirta berarti air. Air mengalir dari hulu ke hilir. Jika kita ibaratkan murid kita adalah air, maka biarlah ia merdeka, mengalir lepas hingga ke hilir potensinya. Sebagai seorang coach salah satu peran terpentingnya adalah membantu coachee.
TIRTA terdari dari Tujuan awal dimana kedua pihak coach dan coachee menyepakati tujuan pembicaraan yang akan berlangsung. Idealnya tujuan ini datang dari coachee. Identifikasi dimana coach melakukan penggalian dan pemetaan situasi yang sedang dibicarakan, dan menghubungkan dengan fakta-fakta yang ada pada saat sesi.
Rencana Aksi dimana pengembangan ide atau alternatif solusi untuk rencana yang akan dibuat. Tanggungjawab dimana membuat komitmen atas hasil yang dicapai dan untuk langkah selanjutnya.
Supervisi Akademik dengan Paradigma Berpikir Coaching: Dalam pelaksanaannya ada dua paradigma utama dalam menjalankan proses supervisi akademik yang memberdayakan, yakni paradigma pengembangan kompetensi yang berkelanjutan dan optimalisasi potensi setiap individu.
Prinsip supervisi akademik dengan paradigma berpikir coaching meliputi kemitraan, proses kolaboratif antara supervisor dan guru, konstrukti bertujuan mengembangkan kompetensi individu, terencana, reflektif, objektif, informasi diambil berdasarkan sasaran yang sudah disepakati, berkesinambungan, komprehensif: mencakup tujuan dari proses supervisi akademik.
Sedangkan pelaksanaan supervisi akademik didasarkan pada kebutuhan dan tujuan sekolah dan dilaksanakan dalam tiga tahapan, yakni perencanaan, pelaksanaan supervisi, dan tindak lanjut. Tahap perencanaan, supervisor merumuskan tujuan, melihat pada kebutuhan pengembangan guru, memilih pendekatan, teknik, dan model, menetapkan jadwal, dan mempersiapkan ragam instrumen.
Dalam tahapan pelaksanaan supervisi akademik adalah observasi pembelajaran di kelas atau yang biasanya kita sebut sebagai supervisi klinis. Tahap tindak lanjut, berupa kegiatan langsung atau tidak langsung seperti percakapan coaching, kegiatan kelompok kerja guru di sekolah, fasilitasi dan diskusi, serta kegiatan lainnya dimana para guru belajar dan memiliki ruang pengembangan diri lewat berbagai kegiatan.
Pemikiran reflektif terkait pengalaman belajar
Emosi yang dirasakan adalah termotivasi untuk lebih giat belajar mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang coaching untuk supervisi akademik dan semakin banyak melakukan praktik coaching maka akan semakin terasah kemampuan kita sebagai coach untuk hadir penuh (presence), mendengarkan aktif, dan mengajukan pertanyaan berbobot.
Terdapat tantangan untuk menerapkan praktik coaching secara berkelanjutan dengan murid atau rekan sejawat agar mendapatkan ketrampilan coaching untuk supervisi akademik. Hal yang sudah baik adalah memperoleh pemahaman dan pencerahan tentang materi coaching untuk supervisi akademik dan sudah mempraktikkannya.
Hal yang perlu diperbaiki adalah langkah-langkah yang baik dan bijak pada mengajukan pertanyaan yang berbobot kepada coachee. Keterkaitan terhadap kompetensi dan kematangan diri pribadi adalah mengoptimalkan kekuatan diri sebagai seorang pendidik yang mampu menjadi coach dan melakukan coaching bagi orang-orang di lingkungan sekitar.
Keterkaitan materi modul 2.1 tentang Pembelajaran Berdiferensiasi dan modul 2.2 tentang Pembelajaran Sosial Emosional (PSE), jika dihubungkan dengan materi coaching maka pembelajaran berdiferensiasi dimana guru harus berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhi kebutuhan belajar siswa yang terdiri dari kesiapan belajar, minat belajar, dan profil belajar siswa.
Langkah untuk memetakan kebutuhan individu siswa tersebut, guru bisa berperan sebagai coach untuk melakukan proses coaching dengan siswa sebagai coachee. Hal tersebut mampu mengoptimalkan potensi yang ada dalam diri siswa sehingga akan menemukan cara terbaik dalam memenuhi kebutuhan individu siswa.
Pembelajaran Sosial Emosional (PSE) yang harus dilakukan secara kolaboratif oleh seluruh komunitas sekolah untuk menumbukan kompetensi tentang kesadaran diri, manajemen diri, kesadaran sosial, keterampilan berelasi, dan pengambilan keputusan yang bertanggung jawab pada diri siswa. Proses coaching sejalan dengan PSE karena kompetensi sosial emosional tersebut dapat diterapkan oleh guru dalam proses coaching kepada siswa.
Keterkaitan keterampilan coaching dengan pengembangan kompetensi sebagai pemimpin pembelajaran. Terdapat 4 macam paradigma berpikir coaching, yaitu:
(1) fokus pada coachee (rekan yang akan dikembangkan,
(2) bersikap terbuka dan ingin tahu,
(3) memiliki kesadaran diri yang kuat, dan (4) mampu melihat peluang baru dan masa depan.
Juga 3 kompetensi inti yang penting dipahami, diterapkan, dan dilatih secara terus menerus saat melakukan percakapan coaching kepada teman sejawat di sekolah, yaitu: (1) kehadiran penuh (presence), (2) mendengarkan aktif (menyimak), dan (3) mengajukan pertanyaan berbobot.
Salah satu referensi yang dapat kita gunakan untuk mengajukan pertanyaan berbobot hasil dari mendengarkan aktif yaitu RASA yang diperkenalkan oleh Julian Treasure.
RASA merupakan akronim dari Receive, Appreciate, Summarize, dan Ask. Dimana R (Receive/Terima), yang berarti menerima/mendengarkan semua informasi yang disampaikan coachee. Perhatikan kata kunci yang diucapkan.
A (Appreciate/Apresiasi), yaitu memberikan apresiasi dengan merespon atau memberikan tanda bahwa kita mendengarkan coachee. Respon yang diberikan bisa dengan anggukan, dengan kontak mata atau melontarkan kata. Bentuk apresiasi akan muncul saat kita memberikan perhatian dan hadir sepenuhnya pada coachee tidak terganggu dengan situasi lain.
S (Summarize/Merangkum), saat coachee selesai bercerita rangkum untuk memastikan pemahaman kita sama. Perhatikan dan gunakan kata kunci yang diucapkan coachee.
A (Ask/Tanya), coach mengajukan pertanyaan berbobot berdasarkan apa yang didengar dan hasil merangkum (summarizing), membuat pemahaman coachee lebih dalam tentang situasinya, hasil mendengarkan yang mengandung penggalian atas kata kunci atau emosi yang sudah dikonfirmasi, dan pertanyaan terbuka: menggunakan apa, bagaimana, seberapa, kapan, siapa atau di mana dan hindari menggunakan pertanyaan tertutup: “mengapa” atau “apakah” atau “sudahkah”.
Jika keterampilan coaching sudah meningkat maka pengembangan kompetensi guru sebagai pemimpin pembelajaran akan meningkat pula. Percakapan-percakapan coaching membantu para guru berpikir lebih dalam (metakognisi) dalam menggali potensi yang ada dalam diri dan komunitas sekolahnya sekaligus menghadirkan motivasi internal sebagai individu pembelajar yang berkelanjutan yang akan diwujudnyatakan dalam buah pikir dan aksi nyata demi tercapainya kualitas pembelajaran yang berpihak pada murid.
Program Digitalisasi Sekolah
Saat ini terdapat berbagai tantangan dunia pendidikan yang perlu dihadapi dalam menyiapkan generasi emas Indonesia. Dalam menghadapi persaingan global, bahwa arahan di masa depan pembelajaran di satuan pendidikan adalah dengan memanfaatkan teknologi. Hal ini disebabkan karena dalam mendukung dan menyongsong era revolusi industri 4.0 dan disrupsi teknologi, menuntut kita semua untuk serba Go-digital.
Kemajuan TIK di dunia pendidikan memiliki dampak positif dan berpeluang besar dapat mengoptimalkan peningkatan mutu pendidikan. Dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini, seluruh instansi dan stakeholders didorong untuk melakukan transisi dan menggunakan kekuatan teknologi informasi dalam menjalankan kebijakan dan program.
Kondisi seperti saat ini tidak bisa dihindari termasuk oleh instansi di daerah dan di satuan pendidikan. Warga sekolah pun ikut serta dalam melakukan adaptasi kebiasaan baru, yakni pembelajaran dengan menggunakan teknologi. Sehingga dalam hal ini, digitalisasi sekolah adalah sebuah keniscayaan sebagai arah kebijakan kedepan.
Oleh karena itu, Pokja Digitalisasi Sekolah Direktorat Sekolah Dasar terus berperan aktif dalam memberikan program dan inovasi agar seluruh sahabat Sekolah Dasar di Indonesia mengetahui lebih jauh tentang pemanfaatan dan pengoptimalisasian penggunaan TIK di sekolah.
https://ditpsd.kemdikbud.go.id/hal/program-digitalisasi-sekolah
Praktik Baik Desiminasi Digitalisasi Sekolah ke SMPN 1 Sedati (Sidoarjo)
Agus Rahmat Yuniar, S.Kom, M.Pd.
Kami melakukan praktik baik dalam desiminasi digitalisasi sekolah yang kami miliki kepada SMP Negeri 1 Sedati tentang sistem informasi mulai pengelolahan web sekolah, aplikasi sekolah, media ajar sekolah dan beberapa aplikasi yang menunjang dan mendukung kinerja bapak ibu guru dan tenaga kependidikan di SMPN 6 Sidoarjo ke SMPN 1 Sedati. Kami melakukan praktik baik ini pada hari Senin, 06 November 2023. Adapun sistem digitalisasi sekolah kami terapkan sejak tahun 2018, hanya saja kami memiliki kekurangan tenaga pengelola sistem sehingga kami mengelolah dengan sabar dan semangat mengingat kebutuhan dan percepatan yang kami alami sangat masiv. Semua aplikasi yang dimiliki diberdayakan oleh tenaga pendidik Agus Rahmat Yuniar, S.Kom, M.Pd., yang memiliki kompetensi yang dapat diandalkan.
Apa Itu Kurikulum ?
Menurut UU No 20 tahun 2003 Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Fungsi Kurikulum
Kurikulum merupakan pedoman guru dan peserta didik agar terlaksana proses belajar mengajar dengan baik dalam rangka mencapai tujuan pendidikan
Mengapa Kurikulum Perlu Berubah ?
Kurikulum perlu berubah karena adanya beberapa faktor yang mempengaruhi perubahan kurikulum. Berikut adalah beberapa faktor yang menyebabkan perubahan kurikulum:
1. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung mempengaruhi perubahan kurikulum. Perkembangan ilmu pengetahuan baru mengharuskan adanya penyesuaian kurikulum agar sesuai dengan perkembangan zaman[1].
2. Pendidikan masa depan perlu dirancang guna menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi[2].
3. Kurikulum perlu disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja. Kurikulum harus mampu menghasilkan lulusan yang memiliki keterampilan dan kompetensi yang dibutuhkan oleh dunia kerja[4].
4. Kurikulum perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan teknologi. Kurikulum harus mampu menghasilkan lulusan yang mampu mengikuti perkembangan zaman dan teknologi[6].
Perubahan kurikulum juga dapat memberikan dampak baik dan buruk bagi mutu pendidikan. Dampak baiknya yaitu pelajar bisa belajar dengan mengikuti perkembangan zaman yang terjadi, sedangkan dampak buruknya yaitu adanya ketidaksesuaian antara kurikulum dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja[6]. Oleh karena itu, perubahan kurikulum perlu dilakukan secara terencana dan berkelanjutan agar dapat menghasilkan lulusan yang berkualitas dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja.
Citations:
[1] https://guruinovatif.id/artikel/sejarah-perkembangan-kurikulum-di-indonesia-transformasi-menuju-pendidikan-yang-lebih-berkualitas?username=redaksiguruinovatif
[2] https://core.ac.uk/download/pdf/267075565.pdf
[3] https://nasional.kompas.com/read/2022/02/13/10180071/sejarah-pergantian-kurikulum-di-indonesia?page=all
[4] https://ditsmp.kemdikbud.go.id/melihat-arah-perubahan-kurikulum-di-indonesia/
[5] https://ojs.umu-buton.id/index.php/JSPB/article/download/86/56/364
[6] https://osf.io/8xw9z/download/?format=pdf
Kurikulum merdeka merupakan kurikulum yang bertujuan untuk mengasah minat dan bakat anak siswa sejak dini untuk berfokus pada materi esensial, pengembangan karakter dan kompetensi siswa.
Dapatkah Kurikulum berubah?
Kurikulum operasional satuan pendidikan harus bersifat dinamis artinya dapat diubah sesuai perubahan dan perkembangan budaya dan zaman, selain mengikuti zaman yang sudah diadaptasi sesuai lingkungan geografis.
Kurikulum bersifat dinamis dan terus dikembangkan atau diadaptasi sesuai konteks dan kebutuhan peserta didik untuk membangun kompetensi sesuai masa kini dan masa yang akan datang.
Bagaimana untuk mewujudkannya?
Seluruh komponen masyarakat yaitu peran orang tua, masyarakat dan sekolah harus menempatkan kebutuhan, pendapat, pengalaman, hasil belajar serta kepentingan peserta didik sebagai pengembangan Kurikulum karena Kurikulum dirancang untuk kebutuhan peserta didik.
AKSI NYATA MERDEKA BELAJAR
Modul yang disampaikan pada materi Platform Merdeka Belajar yaitu sebagai berikut:
Pertama :
1. Mengenali diri dan perannya sebagai pendidik
Menurut Ki Hadjar Dewantara dalam dasar-dasar pendidikan, maksud pendidikan itu adalah menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiayaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyaraakat. Salah satu awal kita sebagai pendidik adalah bagaimana kita memaknai dan menghayati pribadi kita sebagai manusia yang merdeka untuk terus belajar.
Ki Hadjar Dewantara pernah menyampaikan, Pendidik itu menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuh nya kekuatan kodrat anak.
2. Apa Peran saya sebagai guru
Menurut Ki Hajdar Dewantara, memberi ilmu demi kecakapan hidup anak dalam usaha mempersiapkannya untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti seluas-luasnya.
3. Ingin menjadi guru seperti apa saya
Guru yang dikagumi, guru yang bertutur kata lembut, guru yang selalu menyimak pendapat kita atau guru yang selalu menyemangati kita. Guru haruslah adaptif terhadap perubahan, seperti yang disampaikan Ki Hajdar Dewantara “pendidikan umumnya berarti daya-upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelek) dan tubuh anak.
Kedua:
1. Mendidik menyeluruh
Menurut Ki Hajar Dewantara, anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratnya yang unik, tidak mungkin pendidik mengubah padi menjadi jagung atau sebaliknya. Mendidik tidak hanya berbentuk pengajaran yang memberikan pengetahuan kepada murid tetapi juga mendidik ketrampilan berpikir, mengembangkan kecerdasarn batin. Pendidikan pikiran (intelektual) murid sebaiknya dibangun setinggi-tingginya, seluas-luasnya dan selebar-lebarnya untuk mewujudkan perikehidupan lahir dan batin dengan baik-baiknya. Setiap murid memiliki kekuatan-kekuatan yang memerlukan “tuntutan” orang dewasa.
2. Pendidikan selama satu abad
Ki Hajar Dewantara menggagas perlunya sistem pendidikan yang humanis dan transformatif, yang dapat memelihara kedamaian dunia. Dan memperkenalkan sistem among “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
3. Menjadi manusia (secara) utuh
Guru sebagai pendidik dapat berperan dalam membantu murid memahami kebutuhan lahir dan batin agar mencapai keseimbangan dalam menjalani kehidupan. Pendidikan atau tuntutan seyogyanya mampu memberikan “didikan lahir” maupun “didikan batin” kepada murid, agar terpenuhi kebutuhan kehidupan dan penghidupan.
Menurut Ki Hajar Dewantara pendidikan adalah tempat persemian benih-benih kebudayaan yang hidup dalam masyarak, dan daya upaya untuk memajukan perkembangan budi pekerti, pikiran dan jasmani. Agar tercapai keseimbangan menjadi manusia, murid sebaiknya dilatih dan dikuatkan kebutuhan batinnya dalam berkehendak dan mennetukan tujuan belajarnya, mengembangkan kerjasama, membangun empati, menghargai sesama, dan merefleksi diri untuk mengembangkan dirinya dan berkontribusi dilingkungan sosial.
Ketiga:
1. Kodrat murid
- Kodarat keadaan
Kodrat keadaan terdiri dari kodrat alam dan kodrat zaman. Ki Hajar Dewantara mengatakan bahwa “segala perubahan yang terjadi pada murid dihubungkan dengan kodrat keadaan, baik alam dan zaman”.
- Kodrat alam
Merupakan kodrat yang berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan dimanan mereka berada. Karena guru bukan lagi sebagai satu-satunya sumber belajar murid, maka guru dapat membantu murid dengan memberikan pembelajaran kontekstual. Guru berperan sebagai penghubung dengan sumber belajar mereka yang ada disekitar murid atau di sekolah dan sumber belajar digital. Sehingga akan membantu mereka menguatkan kekuatan-kekuatan kodratnya.
- Kodrat zaman
Merupakan bagian dasar pendidikan murid yang berhubungan dengan “isi” dan “irama” pendidkan yang dinamis yang disesuaikan dengan perkembangan zaman.
2. Asas trikon (Kontinyu, Konvergen, konsentris)
Pendidikan adalah suatu proses yang dinamis, pendidikan terus berubah dan berkembang sesuai dengan kondisi zaman, dan juga kondisi murid.
Kontinyu merupakan pengembangan yang secara berkesinambungan, dilakukan terus-menerus dengan perencanaan yang baik. Budaya, kebudayaan, atau cara hidup bangsa itu bersifat kontinyu (bersambung tak putus-putus).
Konvergen yaitu bersama bangsa lain mengusahakan terbinanya karakter dunia sebagai kesatuan kebudayaan umat manusia sedunia, tanpa mengorbankan nilai atau identitas bangsa masing-masing.
Konsetris yaitu bersikap terbuka, tetapi tetap kritis dan selektif terhadap pengaruh kebudayaan di sekitar.
Keempat:
Menumbuhkan budi pekerti
Budi pekerti (watak) merupakan hasil dari bersatunya gerakan pikiran, perasaan, dan kehendak atau kemauan, sehingga menimbulkan suatu tenaga. Budi pekerti juag dapat dimaknai sebagai perpaduan antara cipta (kognitif) dan rasa ( efektif) sehingga menghasilkan karsa (psikomotorik).
Teori Konvergensi dan pengaruh pendidikan
Teori tabularasa, yang beranggapan bahwa kodrat anak ibarat kertas kosong yang dapat diisi dan ditulis oleh pendidik dengan pengetahuan dan wawasan yang diinginkan pendidik.
Teori negatif, yang beranggapan bahwa kodrat anak ibarat kertas yang sudah terisi penuh dengan berbagai macam coretan dan tulisan.
Kelima:
>> Mengantarkan murid selamat dan bahagia
a. Selamat dan bahagia
Setiap pendidik sebaiknya harus mengenal dan memahami kekuatan kodrat anak bahwa setiap murid dapat mengekspresikan dan membuat pemahamannya sendiri dengan cara yang berbeda. Salah satu fungsi pendidikan adalah mengantarkan murid agar siap hidup dan memberikan kepercayaan kepada murid bahwa di masa depan mereka akan mampu mengisi zamannya, demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan.
b. Sistem among
Ki Hajar Dewantara memperkenalkan sistem among “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani.
Ing Ngarsa Sung Tuladha (di depan memberi teladan), seorang guru memahami secara utuh tentang apa yang dapat ia bantu kepada murid , menjadi teladan dalam budi pekerti dan tingkah laku.
Ing madya mangun karsa (di tengah membangun kehendak), seorang guru diharapkan mampu membangkitkan semangat, berswakarsa, dan berkreasi bersama murid dengan membuka dialog dengan murid, berperan sebagai narasumber dan panutan.
Tut Wuri Handayani (di belakang memberi dorongan), seorang guru tidak hanya memberi motivasi, tetapi juga memberikan saran dan rekomendasi dari hasil pengamatannya, agar murid mampu mengeksplorasi daya cipta, rasa, karsa dan karyanya.
c. Merdeka belajar abad 21
Di era sekarang guru tidak lagi menjadi satu satunya sumber pengetahuan, tetapi guru sebagai fasilitator pembelajaran. Pada abad ke-21, beberapa referensi menyebutkan bahwa kemampuan memecahkan masalah, kemampuan kognitif yang kompleks, kemampuan sosial emosional menjadi sangat penting bagi murid dan guru.
>> Menciptakan lingkungan pembelajaran terbaik murid
1. Membimbing murid, memperbaiki bangsa
Mendorong murid untuk mengembangkan keterampilan kerjasama dan gotong royong membantu murid lain yang mengalami kesulitan belajar. Hal tersebut akan dapat mengembangkan kecerdasan sosial emosional melalui pengalaman belajar sesuai dengan kebutuhan.
2. Peran keluarga, sekolah, masyarakat
Tri sentra pendidikan adalah tiga wadah dasar proses pembentukan pendidikan murid yang terdiri dari alam keluarga, alam sekolah, dan alam masyarakat/komunitas. Ketiga alam tersebut berperan dan berkontribusi mengembangkan pengetahuan nilai-nilai dan ketrampilan murid.
Agus Rahmat yuniar
Pembelajaran berdiferensiasi adalah pembelajaran yang dikembangkan untuk merespon kebutuhan murid dalam belajar yang bisa berbeda-beda, meliputi kesiapan belajar, minat, potensi, atau gaya belajarnya[1][2][3][4][5][6]. Pembelajaran berdiferensiasi bertujuan untuk menciptakan kesetaraan belajar bagi semua siswa dan menjembatani kesenjangan belajar antara yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi[2]. Pembelajaran berdiferensiasi dapat mencakup tiga jenis, yaitu diferensiasi konten, diferensiasi proses, dan diferensiasi produk[1]. Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru harus memetakan kebutuhan belajar murid, menentukan strategi dan alat penilaian yang akan digunakan, dan menentukan tujuan pembelajaran[1][3]. Keberhasilan pembelajaran berdiferensiasi tampak pada proses dan hasil pembelajaran, seperti siswa merasa nyaman dalam belajar, adanya peningkatan keterampilan baik segi hard skill atau softskill, dan adanya kesuksesan belajar dari seorang murid yaitu murid mampu merefleksikan diri kemampuannya dimulai dari titik awal pembelajaran sampai peningkatan diri selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran[1]. Implementasi pembelajaran berdiferensiasi memerlukan persiapan-persiapan yang baik, seperti menentukan tujuan pembelajaran, memetakan kebutuhan belajar murid, menentukan strategi dan alat penilaian yang akan digunakan, dan menentukan[1]. Pembelajaran berdiferensiasi dapat memberikan manfaat bagi siswa, seperti pertumbuhan yang sama bagi semua siswa, dan dapat menajamkan potensi siswa[2][4]. Namun, terdapat beberapa tantangan dalam penerapan pembelajaran berdiferensiasi, seperti faktor waktu dan persiapan materi dan instrumen penilaian yang harus disiapkan oleh guru[2][4].
Citations:
[1] https://www.smansapaguyangan.sch.id/read/161/pembelajaran-berdiferensiasi
[2] https://bgpsumsel.kemdikbud.go.id/pembelajaran-berdiferensiasi-antara-manfaat-dan-tantangannya/
[3] https://smasibrahimywongsorejo.sch.id/read/16/pembelajaran-berdiferensiasi-dan-penerapannya-di-kelas
[4] https://www.pintar.tanotofoundation.org/belajar-diferensiasi-solusi-menajamkan-potensi-siswa/
[5] https://sdnkembangarum01.dikdas.semarangkota.go.id/read/artikel-populer-pembelajaran-berdiferensiasi-pada-kurikulum-merdeka
[6] http://www.imrantululi.net/berita/detail/pengertian-pembelajaran-berdiferensiasi
Pembelajaran berdiferensiasi dapat membantu siswa yang berbeda-beda dengan cara sebagai berikut:
1. Meningkatkan keterlibatan siswa: Pembelajaran berdiferensiasi memungkinkan siswa untuk memiliki kontrol lebih besar atas proses pembelajaran mereka. Dengan memperhatikan preferensi belajar mereka, siswa akan merasa lebih termotivasi dan terlibat aktif dalam pembelajaran[1].
2. Menajamkan potensi siswa: Pembelajaran berdiferensiasi memungkinkan siswa untuk meningkatkan potensi dirinya sesuai dengan kesiapan belajar, minat, dan profil belajar siswa tersebut[4]. Dengan demikian, siswa dapat mengembangkan potensi dirinya secara maksimal.
3. Menciptakan kesetaraan belajar: Pembelajaran berdiferensiasi bertujuan untuk menciptakan kesetaraan belajar bagi semua siswa dan menjembatani kesenjangan belajar antara yang berprestasi dengan yang tidak berprestasi[2]. Dengan demikian, siswa yang berbeda-beda dapat merasa dihargai dan diberikan kesempatan yang sama untuk belajar.
4. Memperhatikan kebutuhan individu siswa: Pembelajaran berdiferensiasi memperhatikan kebutuhan individu setiap siswa di kelas. Dalam prakteknya, guru akan menghadirkan materi dan aktivitas yang disesuaikan dengan tingkat pemahaman dan gaya belajar masing-masing siswa[1]. Dengan demikian, siswa yang memiliki kebutuhan belajar yang berbeda-beda dapat mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
5. Meningkatkan pengalaman belajar: Pembelajaran berdiferensiasi dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih baik bagi siswa. Dengan memperhatikan preferensi belajar siswa, siswa akan merasa lebih termotivasi dan merasa nyaman dalam proses pembelajaran[1].
Dengan pembelajaran berdiferensiasi, siswa yang berbeda-beda dapat mendapatkan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Hal ini dapat meningkatkan keterlibatan siswa, menajamkan potensi siswa, menciptakan kesetaraan belajar, memperhatikan kebutuhan individu siswa, dan meningkatkan pengalaman belajar siswa.
Citations:
[1] https://e-ujian.id/pembelajaran-berdiferensiasi-dalam-kurikulum-merdeka/
[2] https://cdn-gbelajar.simpkb.id/s3/p3k/PGP%202022/modul%202.1/7%20Alasan%20Mengapa%20Pembelajaran%20Berdiferensiasi%20Dapat%20Berhasil.pdf
[3] https://bgpsumsel.kemdikbud.go.id/pembelajaran-berdiferensiasi-antara-manfaat-dan-tantangannya/
[4] https://www.pintar.tanotofoundation.org/belajar-diferensiasi-solusi-menajamkan-potensi-siswa/
[5] https://guruinovatif.id/artikel/berbagai-tantangan-pembelajaran-berdiferensiasi
[6] https://sdnkembangarum01.dikdas.semarangkota.go.id/read/artikel-populer-pembelajaran-berdiferensiasi-pada-kurikulum-merdeka
Berdasarkan beberapa sumber, terdapat tiga jenis pembelajaran berdiferensiasi yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Diferensiasi konten: Pembelajaran berdiferensiasi konten berkaitan dengan perbedaan konten materi yang diajarkan kepada murid sebagai tanggapan dari kesiapan belajar murid, minat, atau profil belajarnya (visual, auditori, kinestetik) atau bahkan bisa kombinasi dari ketiganya[1]. Dalam pembelajaran berdiferensiasi konten, guru akan menyajikan materi yang berbeda-beda sesuai dengan kebutuhan belajar siswa.
2. Diferensiasi proses: Pembelajaran berdiferensiasi proses berkaitan dengan perbedaan metode atau strategi pembelajaran yang digunakan untuk mengajar siswa[2]. Dalam pembelajaran berdiferensiasi proses, guru akan menggunakan berbagai metode pengajaran untuk memenuhi kebutuhan individual setiap siswa sesuai dengan kebutuhan mereka.
3. Diferensiasi produk: Pembelajaran berdiferensiasi produk berkaitan dengan perbedaan hasil pekerjaan siswa yang ditunjukkan kepada guru dengan ketentuan mampu memberikan tantangan kepada siswa serta memungkinkan siswa untuk bisa berekspresi atas pembelajaran yang diinginkan[5]. Dalam pembelajaran berdiferensiasi produk, siswa akan diberikan keleluasaan untuk memilih produk belajar apa yang ingin dihasilkan.
Dalam pembelajaran berdiferensiasi, guru perlu memetakan kebutuhan belajar murid, menentukan strategi dan alat penilaian yang akan digunakan, dan menentukan tujuan pembelajaran[1][3]. Keberhasilan pembelajaran berdiferensiasi tampak pada proses dan hasil pembelajaran, seperti siswa merasa nyaman dalam belajar, adanya peningkatan keterampilan baik segi hard skill atau softskill, dan adanya kesuksesan belajar dari seorang murid yaitu murid mampu merefleksikan diri kemampuannya dimulai dari titik awal pembelajaran sampai peningkatan diri selama proses pembelajaran dan pada akhir pembelajaran[1].
Citations:
[1] https://www.smansapaguyangan.sch.id/read/161/pembelajaran-berdiferensiasi
[2] https://bgpsumsel.kemdikbud.go.id/pembelajaran-berdiferensiasi-antara-manfaat-dan-tantangannya/
[3] https://sdnkembangarum01.dikdas.semarangkota.go.id/read/artikel-populer-pembelajaran-berdiferensiasi-pada-kurikulum-merdeka
[4] https://smasibrahimywongsorejo.sch.id/read/16/pembelajaran-berdiferensiasi-dan-penerapannya-di-kelas
[5] https://ujione.id/mengenal-pembelajaran-berdiferensiasi/
[6] https://www.pintar.tanotofoundation.org/belajar-diferensiasi-solusi-menajamkan-potensi-siswa/